BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Definisi Malaria
Malaria
adalah penyakit yang menyerang manusia, burung, kera atau primata lainnya, dan
hewan melata serta hewan pengerat, yang disebabkan oleh infeksi protozoa dari
genus Plasmodium dan mudah dikenali dari gejala meriang (panas dingin dan
menggigil) serta demam yang berkepanjangan. Namun pada kasus-kasus yang sering
terjadi, malaria banyak menyerang manusia.
Penyakit
Malaria yang terjadi pada manusia,ada 4 jenis, dan masing-masing disebabkan
oleh spesies parasit yang berbeda. Gejala tiap-tiap jenis biasanya berupa
meriang, panas dingin, menggigil dan keringat dingin. Dalam beberapa kasus yang
tidak disertai pengobatan, gejala-gejala ini muncul kembali secara periodik.
Jenis malaria paling ringan adalah Malaria Tertiana yang disebabkan oleh
Plasmodium vivax, dimana dengan gejala demam dapat terjadi setiap dua hari
sekali setelah gejala pertama ( dapat terjadi selama 2 minggu setelah infeksi).
Dan jenis
malaria yang berat yaitu Demam rimba ( jungle fever ), malaria aestivo-autumnal
atau disebut juga malaria tropika, yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum
merupakan penyebab sebagian besar kematian akibat malaria. Organisme bentuk ini
sering menghalangi jalan darah ke otak, menyebabkan koma, mengigau, serta yang
paling berbahaya yaitu kematian.
Jenis malaria
lainnya yaitu Malaria kuartana yang disebabkan oleh Plasmodium malariae,
memiliki masa inkubasi lebih lama daripada penyakit malaria tertiana atau
tropika; gejala pertama biasanya tidak terjadi antara 18 sampai 40 hari setelah
infeksi terjadi. Gejala tersebut kemudian akan terulang kembali setiap 3 hari.
Jenis malaria ini juga jarang ditemukan karena biasanya serangannya terjadi
dengan selang waktu setiap 72 jam.
Jenis malaria
yang terakhir atau jenis ke empat, dan merupakan jenis malaria yang paling
jarang ditemukan, malaria ini disebabkan oleh Plasmodium ovale yang mirip
dengan malaria tertiana.
Malaria
biasanya terdapat di daerah tropis seperti Indonesia. Namun yang paling sering
terjangkit yaitu didaerah PAPUA, hal ini karena malaria juga merupakan penyakit
yang endemik. Malaria dapat terjadi apabila faktor lingkungan yang kurang
mendukung, seperti : banyak terdapat genangan-genangan air kotor, dimana air
tersebut sudah terdapat jentik-jentik nyamuk malaria (Anopheles betina), dan
kondisi lingkungan yang kurang higienis, sehingga bukan hanya dapat menimbulkan
penyakit malaria saja tetapi juga penyakit lainnya.
Selain
faktor lingkungan, faktor imunitas/antibodi tubuh manusia juga bisa
mempengaruhi terjangkitnya malaria. Karena apabila seorang penderita telah
terinfeksi malaria, maka penderita tersebut dapat sewaktu-waktu terjangkit
kembali (relaps). Walaupun orang tersebut tidak digigit nyamuk lagi, karena
parasit malaria di dalam tubuh sifatnya menetap dan tidak dapat dimusnahkan,
tetapi hanya dapat dihambat pertumbuhan parasitnya. Hal ini tergantung pada
sistem imunitas seseorang.
Di Papua
sendiri, penyakit malaria bukanlah penyakit yang jarang terjadi tetapi sudah
menjadi penyakit yang biasa terjadi. Selain itu malaria juga dapat terjadi
karena letak geografis suatu daerah. Seperti misalnya, disuatu daerah
pegunungan malaria jarang sekali terjadi bahkan hampir tidak terdeteksi dari
pada di daerah dataran. Hal ini karena faktor lingkungan, imunitas, jenis
nyamuk, suhu.
2.2 Etiologi Malaria
Malria
disebabkan oleh adanya sporozoit Plasmodium yang merusak sel-sel di dalam tubuh
manusia. Ada empat jenis Plasmodium yang dapat menyebabkan penyakit malaria,
antara lain :
a) Plasmodium
Vivax, menyebabkan malaria vivax yang disebut pula sebagai malaria tertiana.
b) Plasmodium
falciparum, menyebabkan malaria falciparum yang dapat pula disebut sebagai
malaria tersiana.
c) Plasmodium
malariae, menyebabkan malaria malariaeatau malaria kuartana karena serangan
demam berulang pada tiap hari keempat.
d) Plasmodium
ovale, menyebabkan malaria ovale dengan gejala mirip malari vivax. Malaria ini
merupakan jenis ringan dan dapat sembuh sendiri.
2.3 Patofisiologi Malaria
Ketika nyamuk anopheles
betina (yang mengandung parasit malaria) menggigit manusia, akan keluar
sporozoit dari kelenjar ludah nyamuk masuk ke dalam darah dan jaringan hati.
Dalam siklus hidupnya parasit malaria membentuk stadium sizon jaringan dalam
sel hati (stadium ekso-eritrositer). Setelah sel hati pecah, akan keluar
merozoit/kriptozoit yang masuk ke eritrosit membentuk stadium sizon dalam eritrosit
(stadium eritrositer).
Disitu
mulai bentuk troposit muda sampai sizon tua/matang sehingga eritrosit pecah dan
keluar merozoit. Sebagian besar Merozoit masuk kemabli ke eritrosit dan
sebagian kecil membentuk gametosit jantan dan betina yang siap untuk diisap
oleh nyamuk malaria betina dan melanjutkan siklus hidupnya di tubuh nyamuk
(stadium sporogoni).
Didalam
lambung nyamuk, terjadi perkawinan antara sel gamet jantan (mikro gamet) dan
sel gamet betina (makro gamet) yang disebut zigot. Zigot berubah menjadi
ookinet, kemudian masuk ke dinding lambung nyamuk berubah menjadi ookista.
Setelah ookista matang kemudian pecah, keluar sporozoit yang berpindah ke
kelenjar liur nyamuk dan siap untuk ditularkan ke manusia.
Khusus
Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale pada siklus parasitnya di jaringan hati
(sizon jaringan) sebagian parasit yang berada dalam sel hati tidak melanjutkan
siklusnya ke sel eritrosit, akan tetapi tertanam di jaringan hati –disebut
hipnosit-. Bentuk hipnosit inilah yang menyebabkan malaria relapse. Pada
penderita yang mengandung hipnosoit, apabila suatu saat dalam keadaan daya
tahan tubuh menurun misalnya akibat terlalu lelah, sibuk, stress atau perubahan
iklim (musim hujan), hipnosoit dalam tubuhnya akan terangsang untuk melanjutkan
siklus parasit dari sel hati ke eritrosit.
Setelah
eritrosit yang berparasit pecah akan timbul kembali gejala penyakit. Misalnya 1
– 2 tahun sebelumnya pernah menderita Plasmodium vivax/ovale dan sembuh setelah
diobati, bila kemudia mengalami kelelahan atau stress, gejala malaria akan
muncul kembali sekalipun yang bersangkutan tidak digigit oleh nyamuk anopheles.
Bila dilakukan pemeriksaan, akan didapati SD positif Plasmodium vivax/
plasmodium ovale.
Pada
Plasmodium falciparum serangan dapat meluas ke berbagai organ tubuh lain dan
menimbulkan kerusakan seperti di otak, ginjal, paru, hati dan jantung, yang
mengakibatkan terjadinya malaria berat atau komplikasi. Plasmodium Falciparum
dalam jaringan yang mengandung parasit tua – bila jaringan tersebut berada di
dalam otak- peristiwa ini disebut sekustrasi.
Pada
penderita malaria berat, sering tidak ditemukan plasmodium dalam darah tepi
karena telah mengalami sekuestrasi. Meskipun angka kematian malaria serebral
mencapai 20-50% hampir semua penderita yang tertolong tidak menunjukkan gejala
sisa neurologis (sekuele) pada orang dewasa. Malaria pada anak kecil dapat
terjadi sekuel.
2.4 Komplikasi Malaria
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita
malaria, antara lain :
a)
Kelemahan.
b)
Gangguan Kesadaran.
c)
Kejang berulang.
d)
Syok.
e)
Edema paru.
f)
Ikterik.
g)
Anemia berat.
h)
Hipoglikemia.
i)
Asidosis.
j)
Gangguan fungsi ginjal.
k)
Hiperparasitemia.
2.5 Definisi
Edema Paru
Edema
paru adalah akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba akibat peningkatan
tekanan intravaskular dan sering terjadi pada malaria dewasa. Edema
Paru sering juga disebut Insufisiensi Paru. Edema paru dapat terjadi
oleh karena hiperpermiabilitas kapiler dan atau kelebihan cairan dan mungkin
juga karena peningkatan TNF‑α.
Penyebab
lain gangguan pernafasan (respiratory distress) antara lain :
1) Kompensasi pernafasan dalam
keadaan asidosis metabolik.
2) Efek langsung dari parasit atau
peningkatan tekanan intrakranial pada pusat pernapasan di otak.
3) Infeksi sekunder pada paru‑paru.
4) Anemia berat.
5) Kelebihan dosis antikonvulsan
(phenobarbital) yang menekan pusat pernafasan.
2.6 Etiologi Edema Paru
Adapun etiologi dari Edema paru
antara lain :
I. Ketidakseimbangan Starling Forces :
a) Peningkatan tekanan kapiler paru :
1. Peningkatan tekanan vena paru tanpa
adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis mitral).
2. Peningkatan tekanan vena paru
sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri.
3. Peningkatan tekanan kapiler paru
sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteria pulmonalis (over
perfusion pulmonary edema).
b) Penurunan tekanan onkotik plasma :
1. Hipoalbuminemia sekunder oleh karena
penyakit ginjal, hati, protein-losing enteropaday, penyakit
dermatologi atau penyakit nutrisi.
c) Peningkatan tekanan negatif
intersisial :
1. Pengambilan terlalu cepat
pneumotorak atau efusi pleura (unilateral).
2. Tekanan pleura yang sangat negatif
oleh karena obstruksi saluran napas akut bersamaan dengan peningkatan end-expiratory
volume (asma).
d) Peningkatan tekanan onkotik
intersisial.
1. Sampai sekarang belum ada contoh
secara percobaan maupun klinik.
II. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler
(Adult Respiratory Distress Syndrome) :
a) Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
b) Bahan toksik inhalan (phosgene,
ozone, chlorine, asap Teflon®, NO2, dsb).
c) Bahan asing dalam sirkulasi (bisa
ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-naphthyl thiourea).
d) Aspirasi asam lambung.
e) Pneumonitis radiasi akut.
f) Bahan vasoaktif endogen (histamin,
kinin).
g) Disseminated Intravascular
Coagulation.
h) Imunologi : pneumonitis
hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.
i)
Shock
Lung oleh
karena trauma di luar toraks.
j)
Pankreatitis
Perdarahan Akut.
III. Insufisiensi Limfatik :
a) Post Lung Transplant.
b) Lymphangitic Carcinomatosis.
c) Fibrosing Lymphangitis (silicosis).
IV. Tak diketahui/tak jelas :
a) High Altitude Pulmonary Edema.
b) Neurogenic Pulmonary Edema.
c) Narcotic overdose.
d) Pulmonary embolism.
e) Eclampsia
f) Post Cardioversion.
g) Post Anesthesia.
h) Post Cardiopulmonary Bypass.
2.7 Patofisiologi
Edema Paru
Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas
terjadi ketika cairan dari bagian dalam pembuluh-pembuluh darah merembes keluar
pembuluh darah dan masuk kedalam jaringan-jaringan di sekelilingnya, sehingga
menyebabkan pembengkakan. Ini dapat terjadi karena terlalu banyak tekanan dalam
pembuluh darah atau tidak cukupnya protein dalam aliran darah untuk menahan
cairan dalam plasma (bagian dari darah yang tidak megandung segala sel-sel
darah).
Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema
terjadi di paru-paru. Area yang langsung diluar pembuluh-pembuluh darah kecil
pada paru-paru ditempati oleh kantong-kantong udara yang sangat kecil yang
disebut alveoli. Ini dimana oksigen dari udara diambil oleh darah yang
melaluinya, dan karbondioksida dalam darah dikeluarkan kedalam alveoli untuk
dihembuskan keluar. Alveoli normalnya mempunyai dinding yang sangat tipis yang
mengizinkan pertukaran udara ini, dan cairan biasanya dijauhkan dari alveoli
kecuali dinding-dinding ini kehilangan integritasnya.
Edema Paru terjadi ketika alveoli dipenuhi
dengan kelebihan cairan yang merembes keluar dari pembuluh-pembuluh darah dalam
paru sebagai gantinya udara. Ini dapat menyebabkan persoalan-persoalan dengan
pertukaran gas (oksigen dan karbon dioksida), berakibat pada kesulitan bernapas
dan pengoksigenan darah yang buruk.
Ada saatnya, ini dapat dirujuk sebagai
“air dalam paru-paru” ketika menggambarkan kondisi ini pada pasien. Pulmonary
edema dapat disebabkan oleh banyak faktor-faktor yang berbeda. Ia dapat
dihubungkan pada gagal jantung, disebut cardiogenic pulmonary edema,
atau dihubungkan pada sebab-sebab lain, dirujuk sebagai non-cardiogenic
pulmonary edema. Pada penderita Malaria, hal ini dapat dikategorikan
sebagai suatu komplikasi. Dan yang sering terjadi edema paru pada penderita
malaria yaitu pada ibu hamil.
2.8 Manifestasi Klinis
Gejala yang paling umum dari pulmonary
edema adalah sesak napas. Ini mungkin penimbulan yang berangsur-angsur jika
prosesnya berkembang secara perlahan, atau dapat juga mempunyai penimbulan yang
tiba-tiba pada kasus dari pulmonary edema akut. Gejala-gejala umum lain mungkin
termasuk mudah lelah, lebih cepat mengembangkan sesak napas daripada normal
dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), napas yang cepat (tachypnea),
kepeningan, atau kelemahan.
Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia)
mungkin terdeteksi pada pasien-pasien dengan pulmonary edema. Lebih jauh, atas
pemeriksaan paru-paru dengan stethoscope, dokter mungkin mendengar suara-suara
paru yang abnormal, sepeti rales atau crackles (suara-suara mendidih pendek
yang terputus-putus yang berkoresponden pada muncratan cairan dalam alveoli
selama bernapas).
2.9 Pemeriksaan
Diagnosis
Untuk mengidentifikasi penyebab dari pulmonary edema,
penilaian keseluruhan dari gambar klinis pasien adalah penting. Sejarah medis
dan pemeriksaan fisik yang saksama seringkali menyediakan informasi yang tidak
ternilai mengenai penyebab.
a) Pemeriksaan Fisik :
1. Sianosis sentral. Sesak napas dengan
bunyi napas seperti mukus berbuih.
2. Ronchi basah nyaring di basal paru
kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan paru, kadang disertai ronchi kering
dan ekspirasi yang memanjang akibat bronkospasme sehingga disebut sebagai asma
kardiale. Takikardia dengan S3 gallop. Murmur bila ada kelainan katup.
b) Elektrokardiografi : Bisa
sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium,
tergantung penyebab gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri
atau aritmia bisa ditemukan.
c) Laboratorium :
1. Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2
mula-mula rendah dan kemudian hiperkapnia.
2. Enzim kardiospesifik meningkat jika
penyebabnya infark miokard.
3. Darah rutin, ureum, kreatinin, ,
elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG, enzim jantung (CK-MB, Troponin T),
angiografi koroner.
d) Foto thoraks :
Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada. Radiograph (X-ray)
dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang menyinggung jantung dan
pembuluh-pembuluh darah utamanya plus tulang-tulang dari vertebral column,
dengan bidang-bidang paru yang menunjukan sebagai bidang-bidang yang lebih
gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh struktur-struktur tulang dari
dinding dada.
X-ray dada yang khas dengan pulmonary
edema mungkin menunjukan lebih banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang
paru daripada biasanya. Kasus-kasus yang lebih parah dari pulmonary edema dapat
menunjukan opacification (pemutihan) yang signifikan pada paru-paru
dengan visualisasi yang minimal dari bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan
ini mewakili pengisian dari alveoli sebagai akibat dari pulmonary edema, namun
ia mungkin memberikan informasi yang minimal tentang penyebab yang mungkin
mendasarinya.
e) Gambaran
Radiologi yang ditemukan :
1. Pelebaran atau penebalan hilus
(dilatasi vaskular di hilus)
2. Corakan paru meningkat (lebih dari
1/3 lateral)
3. Kranialisasi vaskuler
4. Hilus suram (batas tidak jelas)
5. Interstitial fibrosis (gambaran
seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul milier).
2.10 Hubungan
Malaria dengan Edema Paru
Pada penderita malaria, biasanya
terdapat beberapa komplikasi, salah satunya edema paru. Hal ini karena pada
malaria, parasit (plasmodium) menyerang sel-sel di dalam tubuh naik sampai ke
menings dan merusaknya, sehingga membuat peradangan di otak. Peradangan yang
banyak terjadi di otak dapat menimbulkan penimbunan cairan (pus) di dalam
paru-paru dan membuat penderita menjadi sesak napas.
Selain
alasan tersebut ada juga alasan edema paru mempengaruhi malaria berat, antara
lain : kompensasi pernapasan dalam keadaan asidosis metabolik, anemia berat,
kelebihan dosis antikonvulsan (Phenobarbital)yang menekan pusat pernapasan, dan
peningkatan tekanan intrakranial pada pusat pernapasan di otak.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1
Pengkajian
a) Identitas Pasien
1. Nama :
2. Umur : (Klien dewasa dan bayi
cenderung mengalami dibandingkan remaja/dewasa muda.)
b) Riwayat Masuk : Klien biasanya
dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, sianosis atau batuk-batuk disertai
dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran kadang sudah menurun dan dapat terjadi
dengan tiba-tiba pada trauma. Berbagai etiologi yang mendasar dengan
masing-masik tanda klinik mungkin menyertai klien. Selain itu biasanya pasien
merupakan penderita malaria.
c) Pemeriksaan fisik
1. Aktivitas/ istirahat
a. Gejala : Keletihan, kelemahan,
malaise umum
b. Tanda :Takikardi, Kelemahan otot dan
penurunan kekuatan.
2. Sistem Intergumen
a. Subyektif : -
b. Obyektif : kulit
pucat, sianosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder), banyak keringat,
suhu kulit meningkat, dan kemerahan.
3. Sistem Pulmonal
a. Subyektif : sesak nafas, dada
tertekan.
b. Obyektif : pernafasan
cuping hidung, hiperventilasi, batuk (produktif/nonproduktif), sputum banyak,
penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan diafragma dan perut meningkat, dan
laju pernafasan meningkat.
4. Sistem Cardiovaskuler
a. Subyektif : sakit dada
b. Obyektif : denyut nadi
meningkat, pembuluh darah vasokontriksi, kualitas darah menurun, denyut jantung
tidak teratur, suara jantung tambahan.
5. Sistem Neurosensori
a. Subyektif : gelisah,
penurunan kesadaran, kejang.
b. Obyektif :
refleks menurun/normal, letargi.
6. Sistem Musculoskeletal
a. Subyektif : lemah,
cepat lelah
b. Obyektif : tonus
otot menurun, nyeri otot/normal. retraksi paru dan penggunaan otot aksesoris
pernafasan.
7. Sistem genitourinaria
a. Subyektif : -
b. Obyektif :
produksi urine menurun/normal,
8. Sistem digestif
a. Subyektif : mual,
kadang muntah
b. Obyektif :
konsistensi feses normal/diare
d) Studi Laboratorik :
1. Hb : menurun/normal
2. Analisa Gas Darah : acidosis
respiratorik, penurunan kadar oksigen darah, kadar karbon darah meningkat/normal
3. Elektrolit : Natrium/kalsium
menurun/normal
3.2
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul, antara lain :
a.
Ketidakefektifan
pola nafas berhubungan dengan kelelahan dan pemasangan alat bantu nafas.
b.
Gangguan
pertukaran Gas berhubungan dengan distensi kapiler pulmonary
c.
Resiko
tinggi infeksi berhubungan dengan area invasi mikroorganisme sekunder terhadap
pemasangan selang endotrakeal.
d.
Gangguan
perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan kontraktilitas otot jantung.
e.
Disfungsi
respon penyapihan ventilator berhubungan dengan kurangnya pengetahuan
terhadapprosedur medis.
3.3
Intervensi
Edema paru merupakan komplikasi yang
fatal, oleh karena itu pada malaria sebaiknya dilakukan penanganan untuk
mencegah terjadinya edema paru. Atau setidaknya mengenali tanda awal dari
kelainan foto pada permulaan insufisiensi paru akut. Adapun intervensi yang
dapat diberikan pada penderita edema paru, antara lain :
1. Pemberian cairan dibatasi, sebaiknya
menggunakan monitoring dengan CVP line. Pemberian melebihi 1500ml cenderung
memberikan edema paru.
2. Bila ada anemi, transfuse darah
diberikan perlahan-lahan (1 unit darah dalam 4 jam).
3. Mengurangi beban jantung kanan
dengan tidur setengah duduk, memberikan diuretika (furosemid / bumetadin) atau venaseksi 250 ml darah.
4.
Perbaiki
hipoksia dengan memberikan oksigen konsentrasi tinggi, dan bila mungkin IPPR
(Intermittent Positive Pressure Respiration). Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit
bila perlu dengan masker.
5.
Jika
memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa
dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2,
hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka
dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
6. Dapat dicoba pemberian vasodilator
(intro-prussid) atau nitro-gliserin.
7.
Infus
emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
8.
Nitrogliserin
sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5 – 10
menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin
intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB.
9.
Jika
tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai dosis
0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan
sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 – 90
mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat
dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital.
10. Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat
diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya dihindari).
11. Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV
bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip
continue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
12. Bila perlu (tekanan darah turun /
tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5 ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 – 10
ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai
respon klinis atau keduanya.
13. Trombolitik atau revaskularisasi
pada pasien infark miokard.
14. Operasi pada komplikasi akut infark
miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur dinding ventrikel / corda
tendinae.
15. Obat-obatan yang dapat diberikan
pada penderita edema paru yaitu Lasix, sedangkan obat-obatan yang harus
dihindari yaitu antibiotic, ciprofloxacin karena dapat merangsang terjadinya
hepatotoksik.
0 komentar:
Posting Komentar