BAB I
PENGERTIAN
FILSAFAT
Filsafat
adalah satu bidang ilmu yang senantiasa ada dan meyertai kehidupan manusia.
Jikalau seseorang hanya berpandangan bahwa materi merupakan sumber kebenaran
dalam kehidupan, maka orang tersebut berfilsafat materialisme. Jikalau seorang
berpandangan bahwa kenikmatan adalah merupakan nilai terpenting dan tertinggi
dalam kehidupan masyarakat dan Negara adalah kebebasan individu, maka orang
tersebut berfilsafat liberisme, jikalau seorang memisahkan antara kehidupan
kenegaraan atau kemasyarakat dan kehidupan agama, maka orang tersebut
berfilsafat sekulirisme.
Secara
etimologis istilah “filsafat” berasal dari bahasa yunani “philein” yang artinya
“cinta” dan “sophos” yang artinya “hikmah” atau “kebijakan” atau “wisdom”
(nasution, 1973). Secara harfiah istilah filsafat adalah mengandung makna cinta
kebijaksanaan. Manusia dalam kehidupan pasti memilih apa pandangan dalam hidup
yang dianggap paling benar, paling baik dan membawa kesejahteraan dalam
kehidupannya, dan pilihan manusia sebagai suatu pandangan dalam hidupnya itulah
yang disebut filsafah. Pilihan manusia atau bangsa dalam menentukan tujuan
hidupnya ini dalam rangka untuk mencapai
kebahagiaaan dalam kehidupannya.
Ditinjau
dari lingkup pembahasannya, filsafat meliputi bidang bahasan antara lain
tentang manusia, masyarakat, alam, pengetahuan, etika, logika, agama, estetika
dan bidang lainnya. Seiring dengan perkembangan ilmu berkembang juga ilmu
filsafat yang berkaitan dengan bidang-bidang ilmu tertentu, misalnya filsafat
sosial, filsafat hukum, filsafat politik, filsafat bahasa, filsafat ilmu
pengetahuan, filsafat limgkungan, filsafat agama dan filsafat yang berkaitan
dengan ilmu bidang lainnya.
Arti
filsafat dikelompokkan menjadi dua macam yaitu sebagai berikut:
Pertama :
filsafat sebagai produk mencangkup pengertian
Kedua :
filsafat sebagai suatu proses mencakup pengertian filsafat yang diartikan
sebagai bentuk suatu aktivitas berfilsafat, dalam proses suatu permasalahan
dengan menggunakan suatu cara dan metode tertentu yang sesuai dengan objek
permasalahannya.
BAB II
PENGERTIAN
PANCASILA SEBAGAI SUATU SISTEM
Pancasila
yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistem filsafat. Sistem
adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama
untuk satu tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang
utuh, system lazimnya memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
1. Suatu
kesatuan bagian-bagian.
2. Bagian-bagian
tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri.
3. Saling
berhubungan, saling ketergantungan.
4. Kesemuanya
dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan bersama (tujuan sistem).
5. Terjadi
dalam suatu lingkungan yang kompleks (shore dan voich 1974 : 22)
Isi
sila-sila Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Namun demikian
sila-sila Pancasila itu bersama-sama merupakan suatu kesatuan dan keutuhan,
setiap sila merupakan unsur (bagian yang mutlak) dari kesatuan Pancasila. Dasar
filsafat Negara Pancasila adalah merupakan suatu kesatuan yang bersifat majemuk
tunggal majemuk arti jamak tunggal
artinya satu. Pancasila pada hakikatnya merupakan system. Pancasila sebagai
suatu system juga dapat dipahami dari pemikiran dasar yang terkandung dalam Pancasila,
yaitu pemikiran tentang manusia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan
dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dengan masyarakat bangsa yang nilai-nilainya telah memiliki
oleh bangsa Indonesia. Pancasila merupakan suatu sistem dalam pengertian
kefilsafatan sebagaimana sistem filfasat lainnya antara lain materialisme,
idealisme, rasionalisme, liberalisme, sosilaisme dan sebagainya.
Kenyataan
Pancasila yang demikian itu disebut kenyataan
objektif, yaitu bahwa kenyataan itu ada pada pancasila sendiri terlepas
dari sesuatu yang lain, atau terlepas dari pengetahuan orang. Jadi cirri khas yang dimiliki oleh sesuatu itu
akan menunjukkan jati diri, atau sifat yang khas dan khusus yang tidak memiliki
oleh sesuatu hal lainnya. Oleh karena itu Pancasila sebagai suatu sistem
filsafat akan memberikan ciri-ciri yang khas, yang khusus yang tidak dapat
terdapat pada sistem filsafat lainnya.
BAB III
KESATUAN
SILA-SILA PANCASILA
3.1 Kesatuan Pancasila yang
Bersifat Hiearkhis dan Berbentuk Piramidal
Susunan
Pancasila adalah hiearkhis dan mempunyai bentuk piramidal. Pengertian
matematika piramidal digunakan untuk menggambarkan hubungan hiearkhis sila-sila
dari Pancasila dalam urut-urutan luas (kwantitasi) dan juga dalam
sifat-sifatnya (kwalitas). Intinya urut-urutan lima sila menunjukan suatu
rangkaian tingkat dalam luasnya dan isi sifatnya.
Dalam
susunan hiearkhis dan piramidal ini, maka Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis
kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan dan keadilan sosial sebaliknya Ketuhanan
Yang Maha Esa adalah ketuhanan yang berkemanusiaan, yang membangun, memelihara,
dan mengembangkan persatua dan Indonesia, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial
demikian selanjutnya, sehingga tiap-tiap sila di dalamnya mengandung sila-sila
lainnya.
3.2 Kesatuan Sila-sila Pancasila
yang Saling Mengisi dan Saling Mengkualifikasi
Sila-sila
Pancasila sebagian kesatuan dapat dirumuskan pula dalam hubungan saling mengisi
atau mengkualifikasi dalam rangka hubungan hiearkhis piramidal tadi. Sila
seperti telah disebutkan diatas mengandung empat sila lainnya, dikualifikasi
oleh empat sila lainnya.
Pancasila
dipersatukan dengan rumus hiearkhis sebagai berikut:
a.
Sila
pertama.
Ketuhanan
yang maha esa adalah ketuhanan yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan social bagi
seluruh rakyat Indonesia.
b.
Sila
kedua.
Kemanusiaan
yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang berketuhan yang maha esa, yang
berpersatuan Indonesia yang berkerakyatan yamng dipimpin oelh hikmat kebijaksanaan
dan permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
c.
Sila
ketiga
Kesatuan
Indonesia adalah persatuan yang berketuhanan yang maha esa, berkemanusiaan yang
adoil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
d.
Sila
keempat
Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan,
adalah kerakyatan yang berketuhanan yang maha esa berkemanusiaan yang adil dan
beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkeadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
e.
Sila
kelima
Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah keadilan yang berketuhan yang maha
esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
(Notonagoro,
(1975: 43, 44)