INTRASELEBRAL
A. PERDARAHAN INTRASELEBRAL
1. Definisi
Perdarahan intra serebral (PIS) adalah perdarahan yang primer berasal
dari pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma.
2. Epidemiologi
Usia rata-rata pada umur 53 tahun, interval 40 – 75 tahun. Insiden pada laki-laki sama dengan pada wanita. Angka kematian 60 – 90 %.
Usia rata-rata pada umur 53 tahun, interval 40 – 75 tahun. Insiden pada laki-laki sama dengan pada wanita. Angka kematian 60 – 90 %.
3. Etiologi
Hipertensi merupakan penyebab terbanyak. Faktor etiologi yang lain adalah aneurisma kriptogenik, diskrasia darah, penyakit darah seperti hemofilia, leukemia, trombositopenia, pemakaian anti koagulan dalam jangka lama, malformasi arteriovenosa dan malformasi mikro angiomatosa dalam otak, tumor otak (primer dan metastase) yang tumbuh cepat, amiloidosis serebrovaskuler dan eklamsia (jarang).
Hipertensi merupakan penyebab terbanyak. Faktor etiologi yang lain adalah aneurisma kriptogenik, diskrasia darah, penyakit darah seperti hemofilia, leukemia, trombositopenia, pemakaian anti koagulan dalam jangka lama, malformasi arteriovenosa dan malformasi mikro angiomatosa dalam otak, tumor otak (primer dan metastase) yang tumbuh cepat, amiloidosis serebrovaskuler dan eklamsia (jarang).
4. Patogenesis
Kasus PIS umumnya terjadi di kapsula interna (70 %), di fossa posterior
(batang otak dan serebelum) 20 % dan 10 % di hemisfer (di luar kapsula
interna). Gambaran patologik menunjukkan ekstravasasi darah karena robeknya
pembuluh darah otak dan diikuti adanya edema dalam jaringan otak di sekitar
hematom. Akibatnya terjadi diskontinuitas jaringan dan kompresi oleh hematom
dan edema pada struktur sekitar, termasuk pembuluh darah otak dan penyempitan
atau penyumbatannya sehingga terjadi iskemia pada jaringan yang dilayaninya,
maka gejala klinis yang timbul bersumber dari destruksi jaringan otak, kompresi
pembuluh darah otak / iskemia dan akibat kompresi pada jaringan otak lainnya.
5. Gejala Klinis
Gejala prodromal tidak jelas kecuali nyeri kepala karena hipertensi.
Serangan sering terjadi di siang hari, waktu beraktifitas atau emosi / marah.
Sifat nyeri kepala yaitu nyeri yang hebat sekali, mual muntah, sering
terdapat pada permulaan serangan. Kesadaran biasanya cepat menurun dan cepat
masuk ke keadaan koma.
Tanda-tanda neurologi fokal (paralisis, hilangnya sensorik dan defek
kemampuan bicara) sering dijumpai. Kaku kuduk atau rigiditas nuchae sering
ditemukan pada perdarahan subarachnoid atau intra serebri.
Paralisis ekstremitas pada fase lanjut biasanya memperlihatkan
tanda-tanda penyakit upper motor neuron yaitu kelemahan otot yang bersifat
spastik dengan atropi otot, reflek dalam menjadi hiperaktif, reflek superfisial
menjadi berkurang atau hilang dan timbul reflek patologis seperti babinsky yang
positif.
6. Diagnosis
Cara yang paling akurat untuk mendefinisikan stroke hemoragik dengan stroke non hemoragik adalah dengan CT scan tetapi alat ini membutuhkan biaya yang besar sehingga diagnosis ditegakkan atas dasar adanya suatu kelumpuhan gejala yang dapat membedakan manifestasi klinis antara perdarahan infark.
Cara yang paling akurat untuk mendefinisikan stroke hemoragik dengan stroke non hemoragik adalah dengan CT scan tetapi alat ini membutuhkan biaya yang besar sehingga diagnosis ditegakkan atas dasar adanya suatu kelumpuhan gejala yang dapat membedakan manifestasi klinis antara perdarahan infark.
Pemeriksaan Penunjang
a.
Kimia darah
b.
Lumbal punksi
c.
EEG
d.
CT scan
e.
Arteriografi
7. Prognosis
Prognosis dipengaruhi oleh beberapa faktor :
Prognosis dipengaruhi oleh beberapa faktor :
a.
Tingkat kesadaran:
1.
Sadar : 16 % meninggal
2.
Somnolen : 39 % meninggal
3.
Stupor : 71 % meninggal
4.
Koma : 100 % meninggal.
b.
Usia : pada usia 70 tahun atau
lebih angka kematian meningkat tajam.
c.
Jenis kelamin : laki-laki lebih
banyak meninggal daripada perempuan.
d.
Tekanan darah : bila tinggi
prognosis jelek.
e.
Lain-lain : cepat dan tepatnya
pertolongan.
8. Penatalaksanaan
1.
Umum
a.
Istirahat.
b.
Observasi fungsi vital
c.
Monitor kadar gula darah,
kemungkinan rendahnya anaerobik glikolisis.
d.
Pemberian makanan peroral, bila
perlu NGT.
e.
Perawatan kandung kemih (pasang
kateter).
f.
Kontrol BAB, bila perlu beri
laksansia.
g.
Hati-hati terjadi dekubitus dan
kontraktur.
h.
Rehabilitasi medik secepat
mungkin.
2.
Khusus
a.
Anti edema.
b.
Anti perdarahan.
c.
Metobolik aktivator.
EPIDURAL
A. EPIDURAL
Penggunaan Metode Epidural
pertama kali adalah pada tahun 1885, ketika seorang ahli saraf New York J.
Leonard Corning menyuntikkan kokain ke bagian tulang belakang pasien
yang menderita "kelemahan tulang belakang dan inkontinensia mani. Lebih dari satu
abad kemudian, epidural telah menjadi metode analgesia yang paling populer,
atau penghilang rasa sakit, di kamar persalinan di AS. Pada tahun 2004,
hampir dua-pertiga dari wanita yang bersalin melaporkan bahwa mereka diberikan
epidural, termasuk 59 persen wanita yang telah melahirkan pervagina Di Kanada,
sekitar setengah dari wanita yang melahirkan secara normal memakai
epidural, dan di Inggris, 21 persen
wanita diberikan epidural sebelum melahirkan
Epidural merupakan suntikan
yang menggunakan obat bius lokal (berasal dari kokain) dan disuntikkan ke dalam
ruang-ruang epidural yang melindungi sumsum tulang belakang. Pada epidural
konvensional klien akan mati rasa baik saraf sensorik maupun motoriknya. Dalam
lima sampai sepuluh tahun terakhir, epidural telah dikembangkan dengan
konsentrasi obat bius yang (bius local), dan dengan kombinasi anestesi lokal
serta opiat (obat yang mirip dengan morfin dan meperidin) pembunuh rasa sakit
untuk mengurangi blok motor, dan untuk menghasilkan apa yang disebut epidural "berjalan".
Analgesia Spinal juga telah
semakin digunakan dalam persalinan untuk mengurangi blok motor. Spinals
menyuntik narkoba menembus dura dan ke dalam ruang (intratekal) tulang
belakang, dan hanya menghasilkan analgesia jangka pendek. Untuk
memperpanjang-efek menghilangkan rasa sakit dalam persalinan, dosis bisa
ditambah sesuai kebutuhan
Epidurals dan spinals
menawarkan bentuk yang paling efektif dari penghilang rasa sakit yang tersedia
dalam pertolongan persalinan, dan wanita yang telah menggunakan analgesia untuk
mengurangi rasa nyeri mempunyai tingkat kepuasan yang tinggi terhadap metode
ini, Namun, kepuasan tidak mengalami nyeri ini tidak tidak sama dengan kepuasan
keseluruhan keseluruhan persalinan selain itu ternyata epidural juga dapat
membahayakan keselamatan ibu dan bayi.
1. Epidural dan hormon persalinan
Secara signifikan penggunaan
epidural mengganggu beberapa hormon utama persalinan, yang dapat mempunyai
dampak negatif pada proses kelahiran
WHO mengatakan bahwa
analgesia epidural adalah salah satu contoh yang paling mencolok dari
medikalisasi persalinan normal. yang, mengubah acara fisiologis menjadi
prosedur medis
Sebagai contoh, oksitosin,
yang dikenal sebagai hormon cinta, yang juga merupakan uterotonika alami-sebuah
zat yang menyebabkan rahim wanita untuk mengalami kontraksi selama proses
persalinan. Epidural membuat produksi oksitosin alami dalam tubuh menurun
bahkan hilang Anestesi epidural juga
melenyapkan ekskresi puncak oksitosin yang harusnya terjadi saat bayi
dilahirkan (11) –padahal hormone oksitosin inilah yang membantu ibu
dan bayi untuk jatuh cinta pada pertemuan pertama. Hormon lain yang
penting dalam uterotonika seperti, prostaglandin F2 alfa, juga berkurang pada
wanita yang menggunakan epidural
B eta-endorphin adalah
hormon alami yang berfungsi untuk membantu wanita yang bersalin untuk mengatasi
rasa sakit. Beta-endorphin juga berhubungan dengan kondisi kesadaran yang
berubah pada proses persalinan. Hormon ini juga membantu menuntun ibu
untuk berjuang dan bekerjasama secara naluriah dengan tubuhnya dan bayinya,
sehingga kadang wanita bersalin sering menggunakan gerakan dan
suara. Epidural mengurangi produksi beta-endorphin dalam tubuh wanita
Adrenaline dan noradrenalin
(epinefrin dan norepinefrin, yang dikenal sebagai katekolamin, atau CA) juga
dirilis atau di produksi di bawah kondisi stres, dan terjadi peningkatan alami
selama persalinan tanpa pengobatan (15) Pada tahap akhir kala 2 persalinan,
lonjakan hormon alami ini memberikan ibu energi untuk mendorong bayi keluar,
dan membuat dia bersemangat dan penuh waspada pada pertemuan pertama dengan
bayinya. Hal ini dikenal sebagai refleks ejeksi fetus (the fetal ejection reflex )
Namun persalinan dapat di
hambat dengan tingkat CA yang sangat tinggi, yang dapat dilepaskan ketika
wanita merasa lapar, dingin, takut, atau tidak aman selama persalinan ini masuk akal
karena Jika indra ibu mengatakan bahaya, maka hormon nya akan memperlambat atau
menghentikan persalinan dan memberinya waktu untuk “melarikan diri” untuk
mencari tempat yang aman untuk melahirkan. Dan ini normal dalam proses evolusi
manusia.
Epidural mengurangi produksi
CA pada ibu bersalin yang sebenarnya membantu dalam persalinan. Namun, penurunan
produksi CA akhir dapat berkontribusi pada kesulitan seorang wanita untuk
mempunyai keinginan mengejan atau semangat untuk mendorong bayinya keluar.
Sehingga akhirnya ini sangat
meningkatkan risiko persalinan dengan instrumental (forseps dan vakum)
2. Efek pada proses persalinan
Epidurals membuat persalinan
berjalan lebih lambat, karena bukti dari penelitian bahwa anestesi lokal yang
digunakan dalam epidural dapat menghambat kontraksi dengan langsung
mempengaruhi otot rahim
Sebagai contoh, epidural juga
membuat otot panggul terasa kebas/ baal, padahal otot panggul ini penting dalam
membimbing dan mengubah kepala bayi untuk bergerak menuju posisi yang terbaik
untuk dilahirkan. Epidural membuat resiko empat kali lebih tinggi pada
kemungkinan kejadian posisi kepala bayi posterior pada tahap akhhir dalam
sebuah penelitian kejadian ini 13 persen lebih tinggi dibandingkan dengan
wanita yang bersalin tanpa epidural yang hanya 3 persen. Posisi posterior ini
tentu saja akan mengurangi kesempatan melahirkan melalui vagina secara spontan
dalam sebuah studi, hanya 26 persen pada ibu yang melahirkan pertama kali (dan
57 persen dari ibu yang berpengalaman) dengan bayi bayi posterior dapat
bersalin per vaginam dengan spontan, lainnya langsung dilakukan forcep, vaccum
atau bahkan SC
Resiko bagi bayi, persalinan
dengan bantuan instrumental dapat meningkatkan risiko jangka pendek seperti
memar, cedera wajah, dan cephalohematoma (bekuan darah di bawah kulit
kepala) Risiko perdarahan intrakranial (pendarahan
dalam otak) meningkat dalam sebuah studi lebih dari empat kali untuk bayi yang
lahir dengan forsep dibandingkan dengan kelahiran spontan, meskipun dua
studi menunjukkan tidak ada perbedaan perkembangan terdeteksi untuk kelahiran
anak forseps
Epidural juga meningkatkan
kebutuhan untuk Pitocin untuk menambah kontraksi, wanita yang bersalin dengan
epidural hampir tiga kali lebih mungkin diberikan Pitocin . Kombinasi epidural dan Pitocin, dapat menyebabkan
kelainan pada denyut jantung janin (Foetal Heart Rate) yang memicu fetal
distress, sehingga secara nyata meningkatkan risiko operasi (forseps, vakum,
atau sesar). Dalam salah satu survei diAustralia, sekitar setengah ibu
yang pertama kali bersalin dan diberikan epidural berakhir dengan persalinan SC
3. Efek samping Epidural
Obat yang digunakan dalam
persalinan dengan epidural yang cukup kuat membuat mati rasa, dan biasanya
melumpuhkan, dan dapat mempengaruhi tekanan darah ibu, sehingga tidak
mengherankan bahwa akan ada efek samping yang signifikan bagi ibu dan bayi.
4. Efek samping bagi Ibu
a. Efek samping yang paling
umum dari epidural adalah penurunan tekanan darah. Efek ini hampir
universal, dan biasanya di dahului dengan pemberian cairan IV sebelum
memberikan epidural. Hipotensi dapat menyebabkan komplikasi mulai dari perasaan
pingsan serangan jantung, dan juga dapat mempengaruhi suplai darah ke
bayi. Hipotensi dapat diobati dengan pemberian cairan IV lebih banyak dan, jika
parah, dengan suntikan epinefrin (adrenalin).
b. Ketidakmampuan untuk buang air kecil (dan kebutuhan untuk pemasangan
kateter kencing)
c. Gatal-gatal pada kulit
(pruritus)
d. Menggigil
e. Mual dan muntah
f. Epidurals juga dapat menyebabkan kenaikan suhu tubuh pada ibu bersalin.
g. Dapat menyebabkan
kesulitan bernapas yang tak terduga bagi ibu
h. Meningkatkan resiko persarahan post partum
i.
Menyebabkan sakit kepala parah yang dapat bertahan hingga enam minggu
5.
Efek samping untuk bayi
a.
Trauma persalinan
b.
Resiko kecanduan pada masa remaja
nanti
c.
Perubahan denyut jantung janin
yang dapat menyebabkan distress
d.
Suplai oksigen berkurang akibat
tekanan darah ibu yang berkurang
e.
APGAR yang kurang
f.
Salah satu peneliti telah mencatat
sepuluh kali lipat peningkatan risiko ensefalopati baru lahir (tanda-tanda
kerusakan otak) pada bayi lahir dengan ibu yang demam akibat epidural
g.
Resiko untuk mengalami kejang pada
periode baru lahir lebih tinggi, dibandingkan dengan bayi yang lahir normal
h.
beberapa studi terhadap kondisi
bayi saat lahir, dan hampir semua bayi yang lahir setelah epidural dibandingkan
dengan bayi yang lahir setelah terpapar obat opiat, yang diketahui menyebabkan
kantuk dan kesulitan bernapas.
i.
Beberapa studi yang membandingkan
bayi terkena epidural dengan bayi yang ibunya tidak menerima obat yang telah
menemukan dampak neurobehavioral yang signifikan.
Epidurals
juga dapat mempengaruhi pengalaman dan keberhasilan menyusui melalui beberapa
mekanisme. Pertama, bayi yang terkena epidural mungkin memiliki kelainan
neurobehavioral disebabkan oleh paparan obat yang kemungkinan akan maksimal
dalam beberapa jam-yang kritis waktu kelahirannya untuk inisiasi
menyusui. Penelitian terakhir telah menemukan (agak jelas) bahwa semakin
tinggi skor neurobehavior pada bayi baru lahir, semakin tinggi nilai mereka
untuk perilaku menyusui
Dalam
penelitian lain, bayi yang terpapar epidural dan spinals lebih mungkin untuk
menurunkan berat badan di rumah sakit,
kedua,
epidural dapat mempengaruhi perilaku dan kondisi ibu baru, membuatnya lebih
sulit menyusui. Hal ini mungkin jika dia telah mengalami persalinan yang
panjang, persalinan dengan instrumental, atau pemisahan dari bayinya, yang
semuanya lebih mungkin terjadi pada persalinan epidural. gangguan
hormonal juga berperan mengingat oksitosin adalah hormone utama dalam proses
menyusui
B. ANASTESI EPIDURAL
Anestesi epidural atau bius
lokal dari pinggang ke bawah adalah teknik untuk menghilangkan rasa sakit
dengan memasukan zat anestesi lewat suntikan melalui otot pinggang hingga
ke daerah epidural (salah satu bagian dari susunan saraf pusat di bagian tulang
belakang). Hal ini dilakukan oleh dokter anestesi. Pembiusan dilakukan melalui
suntikan tadi,sifatnya memblok daerah yang disuntik sampai ke bagian bawah,
sehingga si ibu tidak merasa nyeri di daerah tersebut.
Bila ibu
menggunakan anestesi ini maka saat mengalami kontraksi, ibu tidak merasakan
adanya nyeri sama sekali. Sehingga saat sampai waktunya ibu harus mengejan,
maka ibu akan dituntun untuk mengejan sesuai dengan datangnya kontraksi yang
dinilai oleh dokter. Dengan kata lain ibu sama sekali tidak tahu kapan ibu
merasa harus mengejan, karena stimulasi yang merangsang hal tersebut tidak
dirasakan sama sekali. Karena tidak adanya stimulasi tersebut, maka kadang
proses persalinan menjadi lebih lama dan ada kemungkinan persalinan harus
dibantu dengan menggunakan vacuum atau forsep, Walaupun begitu, hasil akhir
tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara bayi yang lahir normal atau
menggunakan metode ini.
Obat anestesi
epidural akan bekerja selama beberapa jam, yang sebelum efeknya habis, dokter
anestesi akan memberikan instruksi untuk memberikan suntikan obat anestesi
epidural selanjutnya melalui kateter yang sudah dipasang. Ibu masih dapat
melakukan aktivitas seperti biasa karena saraf yang di blok hanyalah saraf yang
memberikan rangsang nyeri.
Untuk persalinan,
blokade dikhususkan untuk mengurangi rasa sakit di daerah rahim, leher rahim
dan bagian atas vagina. Tetapi otot pangul masih dapat melakukan gerakan rotasi
kepala bayi untuk keluar dari jalan lahir ibu. Ibu masih bisa mengejan,
sehingga masih dapat dilakukan persalinan melalui jalan lahir.
Keuntungan
penggunaan epidural
1.
80 persen ibu berhasil mengatasi
rasa sakit.
2.
Tidak mengacaukan pikiran
3.
Membantu dalam mengontrol tekanan
darah tinggi
Dampak yang
di timbulkan terhadap hormon persalinan.
1.
Ini bisa menghambat produksi
beta-endorphin.
2.
Epidural mengurangi
produksi oksitosin selama persalinan.
3.
Epidural juga menghambat
produksi katekolamin (CA). Ingat bahwa CA dapat
memperlambat atau menghentikan persalinan pada
tahap awal, tetapi mempromosikan refleks ejeksi janin pada tahap kedua
persalinan.
Sehingga
menghambat produksi CA dapat membuat proses persalinan menjadi lebih sulit.
4.
Epidural membatasi pelepasan
prostaglandin F2 alfa, suatu senyawa lipid yang merangsang kontraksi rahim dan
dianggap terlibat dengan inisiasi persalinan.
5.
Epidural mengganggu proses
persalinan dan memiliki efek samping bagi ibu seperti:
a.
Dapat memperpanjang lama
persalinan
b.
Tiga kali lipat meningkatkan
risiko robek perineum yang parah. Karena banyak dari ibu yang
memilih epidural ternyata harus berakhir di persalinan tindakan seperti forceps
& Vacum
c.
Dua kali lipat meningkatkan
risiko operasi caesar
d.
Tiga kali lipat meningkatkan
terjadinya induksi dengan oksitosin sintetis (Pitocin).
e.
Empat kali lipat meningkatkan
kemungkinan bayi akan terus-menerus berada dalam posisi posterior (menghadap ke
atas) dalam tahap akhir persalinan (gagal melakukan putaran paksi di dalam
panggul), yang pada gilirannya mengurangi kemungkinan kelahiran vagina spontan.
f.
Mengurangi kemungkinan
persalinan per vagina spontan.
g.
Meningkatkan kemungkinan
komplikasi dari persalinan dengan instrumen. Ketika wanita dengan epidural
bersalin menggunakan forceps, jumlah gaya yang digunakan oleh dokter hampir dua
kali lipat lebih besar dibandingkan dengan tidak menggunakan epidural. Hal
ini penting karena dapat meningkatkan resiko jangka pendek akibat persalinan
dengan instrumen seperti memar, luka wajah, perpindahan dari tulang tengkorak
dan pembekuan darah di kulit kepala bayi, dan episiotomi dan robekan pada
vagina dan perineum ibu.
Efek samping
untuk Bayi
1.
Sangat penting untuk memahami
bahwa obat-obatan diberikan oleh epidural memasuki aliran darah bayi
pada tingkat yang sama dan kadang-kadang bahkan lebih tinggi dibandingkan
yang ada dalam aliran darah ibu.
2. Namun, karena sistem kekebalan tubuh bayi belum matang, diperlukan
waktu lebih lama bagi mereka untuk menghilangkan efek obat
epidural. Sebagai contoh, metabolisme bupivacain, analgesik epidural yang
umum digunakan, adalah 2,7 jam pada orang dewasa tapi pada bayi baru lahir memerlukan
waktu 8 jam.
3. Studi telah menemukan jumlah metabolit bupivacain terdeteksi dalam
urin bayi baru lahir 36 jam setelah anestesi spinal pada persalinan SC.
4. Beberapa studi telah menemukan defisit dalam kemampuan bayi
baru lahir yang konsisten akibat obat yang digunakan dalam epidural.
5. Penelitian lain menemukan bahwa anestesi lokal yang digunakan
dalam epidural dapat berpengaruh buruk pada sistem kekebalan tubuh bayi
baru lahir, mungkin dengan mengaktifkan respon stres.
6. Ada bukti bahwa epidural dapat mempengaruhi pasokan oksigen
dalam aliran darah janin, mungkin karena adanya penurunan tekanan darah
ibu yang terjadi akibat epidural .
7. Epidural telah terbukti menyebabkan bradikardia janin,
penurunan denyut jantung janin (DJJ). Ini mungkin efek sekunder dari
adanya penurunan kadar katekolamin (CA) ibu disebabkan oleh epidural yang pada
gilirannya menyebabkan tekanan darah rendah dan rahim hiper-stimulasi.
8. Epidural dapat menyebabkan demam pada ibu, yang pada gilirannya
dapat mempengaruhi bayi. Dalam sebuah studi besar pertama kali ibu, bayi
lahir dari ibu dengan demam (97% di antaranya telah epidural)
9. Epidural juga dapat meningkatkan kemungkinan nilai Apgar skor
rendah saat lahir, sehingga memerlukan resusitasi dan mengalami kejang pada
periode baru lahir
10. Beberapa studi menunjukkan bahwa epidural dapat mengganggu ikatan
normal/bonding yang terjadi antara ibu dan bayi setelah lahir.
11. Ada juga bukti bahwa epidural dapat menurunkan efisiensi menyusui.
Belum masuk ke daerah panggul, atau ada kemungkinan
panggul Anda kecil untuk dilalui bayi dengan berat tertentu, atau panggul Anda
asimetris, maka tidak dapat dilakukan persalinan dengan menggunakan anastesi
ini.
C.
PERDARAHAN EPIDURAL
Perdarahan
epidural adalah perdarahan yang menghasilkan sekumpulan darah diluar dura mater
otak atau tulang belakang. Perdarahan biasanya sebagai akibat dari robeknya
arteri meningea media dan mungkin dengan cepat mengancam jiwa. Juga disebut
perdarahan ekstradural.
1.
Etiologi
Trauma
merupakan penyebab khas perdarahan epidural, meskipun perdarahan spontan bisa
saja muncul. Trauma seringnya berupa benturan tumpul pada kepala akibat
serangan, terjatuh, atau kecelakan lain; trauma akselerasi-deselerasi dan gaya
melintang. Distosia, ektraksi forseps, dan tekanan kranium berlebihan pada jalan
lahir juga mencakup perdarahan pada bayi baru lahir.
2.
Patofisiologi
Tidak
seperti perdarahan subdural, kontusio serebral, ataupun cedera aksonal difusa
otak, perdarahan epidural tidak diakibatkan sekunder dari gerakan kepala atau
akselerasi. Perdarahan epidural disebabkan gangguan struktural pembuluh darah
kranium dan dura umumnya dihubungkan dengan fraktur calvaria. Laserasi arteri
meningea media dan sinus dura yang menyertainya adalah etiologi yang paling
umum.
Pada
fossa posterior, gangguan sinus venosus dura (misal, sinus transversum atau
sigmoid) oleh fraktur dapat menyebabkan perdarahan epidural. Gangguan sinus
sagitalis superior dapat menyebabkan perdarahan epidural pada vertex. Sumber
perdarahan epidural non-arterial lainnya termasuk venous lakes, diploic
veins, granulasi arachnoid, dan sinus petrosus
Sejumlah
kecil perdarahan epidural telah dilaporkan tanpa adanya trauma. Etiologinya
termasuk penyakit infeksi kranium, malformasi vaskuler dura mater, dan
metastase ke kranium. Perdarahan epidural spontan juga bisa berkembang pada
pasien dengan koagulopati sehubungan dengan masalah medis primer lainnya
(misal, penyakit hati stadium akhir, alkoholisme kronik, keadaan penyakit lain
sehubungan dengan disfungsi trombosit)
3.
Gambaran Klinik
Kebanyakan
perdarahan epidural asalnya adalah trauma, seringnya melibatkan benturan tumpul
pada kepala. Pasien mungkin memiliki bukti eksternal cedera kepala seperti
laserasi kulit kepala, cephalohematoma,
atau kontusio. Cedera sistemik juga dapat muncul. Tergantung pada daya
benturan, pasien mungkin saja tidak kehilangan kesadaran, kehilangan kesadaran
singkat, atau kehilangan kesadaran berkepanjangan.
Interval
lucid klasik muncul pada 20-50%
pasien dengan perdarahan epidural. Pada awalnya, tekanan mudah-lepas yang
menyebabkan cedera kepala mengakibatkan perubahan kesadaran. Setelah kesadaran
pulih, perdarahan epidural terus meluas sampai efek massa perdarahan itu
sendiri menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, menurunnya tingkat
kesadaran, dan kemungkinan sindroma herniasi. Interval lucid yang bergantung pada luasnya
cedera, merupakan kunci untuk menegakkan diagnosa perdarahan epidural.
Dengan
hipertensi intrakranial berat, respon Cushing
mungkin muncul. Trias Cushing
klasik melibatkan hipertensi sistemik, bradikardia, dan depresi pernafasan.
Respon ini biasanya muncul ketika perfusi serebral, terutama sekali batang
otak, dikompromi oleh peningkatan tekanan intra kranial. Terapi anti hipertensi
selama ini mungkin menyebabkan iskemia serebral akut dan kematian sel. Evakuasi
lesi massa mengurangi respon Cushing.
Penilaian
neurologis penting. Perhatian terutama diberikan pada tingkat kesadaran,
aktivitas motorik, pembukaan mata, respon verbal, reaktivitas dan ukuran pupil,
dan tanda-tanda lateralisasi seperti hemiparesis atau hemiplegia. GCS penting
dalam menilai kondisi klinis terkini.
GCS
positif berhubungan dengan hasil akhir. Pada pasien yang sadar dengan lesi
massa, fenomena drift pronator
mungkin membantu dalam menilai arti klinis. Arah ekstremitas ketika pasien
diminta menahan kedua lengan teregang keluar dengan kedua telapak tangan
menghadap keatas mengindikasikan efek massa yang sulit dipisahkan namun
penting.
Pada
pencitraan yang dihasilkan oleh CT scan dan MRI, perdarahan epidural biasanya
tampak berbentuk konveks karena ekspansinya berhenti pada sutura kranium,
dimana dura mater sangat erat melekat ke kranium. Perdarahan epidural dapat
muncul dalam kombinasi dengan perdarahan subdural, ataupun dapat muncul
sendiri. CT-scan mengungkap perdarahan subdural atau epidural pada 20% pasien
yang kehilangan kesadaran
4.
Anatomi
Dibawah
tulang kranium terletak dura mater, yang terletak diatas struktur
leptomeningeal, arachnoid, dan pia mater, yang pada gilirannya, terletak diatas
otak. Dura mater terdiri atas 2 lapisan, dengan lapisan terluar bertindak
sebagai lapisan periosteal bagi permukaan dalam kranium.
Seiring
bertambahnya usia seseorang, dura menjadi penyokong pada kranium, mengurangi
frekuensi pembentukan perdarahan epidural. Pada bayi baru lahir, kranium lebih
lembut dan lebih kecil kemungkinan terjadinya fraktur. Perdarahan epidural
dapat terjadi ketika dura terkupas dari kranium saat terjadi benturan.
Dura
paling menyokong sutura, yang menghubungkan berbagai tulang pada kranium.
Sutura mayor merupakan sutura coronalis (tulang-tulang frontal dan parietal),
sutura sagitalis (kedua tulang parietal), dan sutura lambdoidea (tulang-tulang
parietal dan oksipital). Perdarahan epidural jarang meluas keluar sutura.
Regio
yang paling sering terlibat dengan perdarahan epidural adalah regio temporal
(70-80%). Pada regio temporal, tulangnya relatif tipis dan arteri meningea
media dekat dengan skema bagian dalam kranium. Insiden perdarahan epidural pada
regio temporal lebih rendah pada pasien pediatri karena arteri meningea media belum
membentuk alur dalam skema bagian dalam kranium. Perdarahan epidural muncul
pada frontal, oksipital, dan regio fossa posterior kira-kira pada frekuensi
yang sama. Perdarahan epidural muncul kurang begitu sering pada vertex atau
daerah para-sagital.
Berdasarkan
studi anatomi terbaru oleh Fishpool dkk, laserasi arteri ini mungkin
menyebabkan campuran perdarahan arteri dan vena.
Perdarahan
epidural jika tidak ditangani dengan observasi atau pembedahan yang hati-hati,
akan mengakibatkan herniasi serebral dan kompresi batang otak pada akhirnya,
dengan infark serebral atau kematian sebagai konsekuensinya. Karenanya,
mengenali perdarahan epidural sangat penting.
5.
Pemeriksaan Laboratorium
Level
hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung trombosit) penting
dalam penilaian pasien dengan perdarahan epidural, baik spontan maupun trauma.
Cedera
kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin jaringan, yang
mengakibatkan DIC. Pengetahuan utama akan koagulopati dibutuhkan jika
pembedahan akan dilakukan. Jika dibutuhkan, faktor-faktor yang tepat diberikan
pre-operatif dan intra-operatif.
Pada
orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan penurunan yang signifikan
pada level hematokrit dalam rongga kranium kaku. Pada bayi, yang volume darahnya
terbatas, perdarahan epidural dalam kranium meluas dengan sutura terbuka yang
menyebabkan kehilangan darah yang berarti. Perdarahan yang demikian
mengakibatkan ketidakstabilan hemodinamik; karenanya dibutuhkan pengawasan
berhati-hati dan sering terhadap level hematokrit.
6.
Pencitraan
a.
Radiografi
1.
Radiografi kranium selalu
mengungkap fraktur menyilang bayangan vaskular cabang arteri meningea media.
Fraktur oksipital, frontal atau vertex juga mungkin diamati.
2.
Kemunculan sebuah fraktur tidak
selalu menjamin adanya perdarahan epidural. Namun, > 90% kasus perdarahan
epidural berhubungan dengan fraktur kranium. Pada anak-anak, jumlah ini
berkurang karena kecacatan kranium yang lebih besar.
b.
CT-scan
1.
CT-scan merupakan metode yang
paling akurat dan sensitif dalam mendiagnosa perdarahan epidural akut. Temuan
ini khas. Ruang yang ditempati perdarahan epidural dibatasi oleh perlekatan
dura ke skema bagian dalam kranium, khususnya pada garis sutura, memberi
tampilan lentikular atau bikonveks. Hidrosefalus mungkin muncul pada pasien
dengan perdarahan epidural fossa posterior yang besar mendesak efek massa dan
menghambat ventrikel keempat.
2.
CSF tidak biasanya menyatu dengan
perdarahan epidural; karena itu hematom kurang densitasnya dan homogen.
Kuantitas hemoglobin dalam hematom menentukan jumlah radiasi yang diserap.
3.
Tanda densitas hematom
dibandingkan dengan perubahan parenkim otak dari waktu ke waktu setelah cedera.
Fase akut memperlihatkan hiperdensitas (yaitu tanda terang pada CT-scan).
Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-4 minggu, lalu menjadi
hipodensitas (yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah hiperakut mungkin diamati
sebagai isodensitas atau area densitas-rendah, yang mungkin mengindikasikan
perdarahan yang sedang berlangsung atau level hemoglobin serum yang rendah.
4.
Area lain yang kurang sering
terlibat adalah vertex, sebuah area dimana konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin
sulit. Perdarahan epidural vertex dapat disalahtafsirkan sebagai artefak dalam
potongan CT-scan aksial tradisional. Bahkan ketika terdeteksi dengan benar,
volume dan efek massa dapat dengan mudah disalahartikan. Pada beberapa kasus,
rekonstruksi coronal dan sagital dapat digunakan untuk mengevaluasi hematom
pada lempengan coronal.
5.
Kira-kira 10-15% kasus perdarahan
epidural berhubungan dengan lesi intrakranial lainnya. Lesi-lesi ini termasuk
perdarahan subdural, kontusio serebral, dan hematom intraserebral
c.
MRI : perdarahan akut pada MRI
terlihat isointense, menjadikan
cara ini kurang tepat untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa,
bagaimanapun, dapat diamati ketika meluas.
7.
Pengobatan
1. Terapi Obat-obatan
Pengobatan
perdarahan epidural bergantung pada berbagai faktor. Efek yang kurang baik pada
jaringan otak terutama dari efek massa yang menyebabkan distorsi struktural,
herniasi otak yang mengancam-jiwa, dan peningkatan tekanan intrakranial.
Dua
pilihan pengobatan pada pasien ini adalah
a.
intervensi bedah segera dan
b.
pengamatan klinis ketat, di awal
dan secara konservatif dengan evakuasi tertunda yang memungkinkan
Catatan
bahwa perdarahan epidural cenderung meluas dalam hal volume lebih cepat
dibandingkan dengan perdarahan subdural, dan pasien membutuhkan pengamatan yang
sangat ketat jika diambil rute konservatif.
Tidak semua
kasus perdarahan epidural akut membutuhkan evakuasi bedah segera. Jika lesinya
kecil dan pasien berada pada kondisi neurologis yang baik, mengamati pasien
dengan pemeriksaan neurologis berkala cukup masuk akal.
Meskipun
manajemen konservatif sering ditinggalkan dibandingkan dengan penilaian klinis,
publikasi terbaru “Guidelines for the
Surgical Management of Traumatic Brain Injury” merekomendasikan bahwa
pasien yang memperlihatkan perdarahan epidural < 30 ml, < 15 mm tebalnya,
dan < 5 mm midline shift,
tanpa defisit neurologis fokal dan GCS > 8 dapat ditangani secara
non-operatif. Scanning
follow-up dini harus digunakan untukmenilai meningkatnya ukuran hematom
nantinya sebelum terjadi perburukan. Terbentuknya perdarahan epidural terhambat
telah dilaporkan. Jika meningkatnya ukuran dengan cepat tercatat dan/atau
pasien memperlihatkan anisokoria atau defisit neurologis, maka pembedahan harus
diindikasikan. Embolisasi arteri meningea media telah diuraikan pada stadium
awal perdarahan epidural, khususnya ketika pewarnaan ekstravasasi angiografis
telah diamati.
Ketika
mengobati pasien dengan perdarahan epidural spontan, proses penyakit primer
yang mendasarinya harus dialamatkan sebagai tambahan prinsip fundamental yang telah
didiskusikan diatas.
2.
Terapi
Bedah
Berdasarkan
pada “Guidelines for the Management of
Traumatic Brain Injury“, perdarahan epidural dengan volume > 30 ml,
harus dilakukan intervensi bedah, tanpa mempertimbangkan GCS.
Kriteria
ini menjadi sangat penting ketika perdarahan epidural memperlihatkan ketebalan
15 mm atau lebih, dan pergeseran dari garis tengah diatas 5 mm. Kebanyakan
pasien dengan perdarahan epidural seperti itu mengalami perburukan status
kesadaran dan/atau memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi.
Lokasi
juga merupakan faktor penting dalam menentukan pembedahan. Hematom temporal,
jika cukup besar atau meluas, dapat mengarah pada herniasi uncal dan perburukan lebih cepat.
Perdarahan epidural pada fossa posterior yang sering berhubungan dengan
gangguan sinus venosus lateralis, sering membutuhkan evakuasi yang tepat karena
ruang yang tersedia terbatas dibandingkan dengan ruang supratentorial.
Sebelum
adanya CT-scan, pengeboran eksplorasi burholes
merupakan hal yang biasa, khususnya ketika pasien memperlihatkan tanda-tanda
lateralisasi atau perburukan yang cepat. Saat ini, dengan teknik scan-cepat,
eksplorasi jenis ini jarang dibutuhkan.
Saat
ini, pengeboran eksplorasi burholes
disediakan bagi pasien berikut ini:
a.
Pasien dengan tanda-tanda
lokalisasi menetap dan bukti klinis hipertensi intrakranial yang tidak mampu
mentolerir CT-scan karena instabilitas hemodinamik yang berat.
b.
Pasien yang menuntut intervensi
bedah segera untuk cedera sistemiknya.
8.
Komplikasi
Kebanyakan
dari komplikasi perdarahan epidural muncul ketika tekanan yang mereka kerahkan
mengakibatkan pergeseran otak yang berarti. Ketika otak menjadi subyek herniasi
subfalcine, arteri serebral
anterior dan posterior mungkin tersumbat, menyebabkan infark serebral
Herniasi
kebawah batang otak menyebabkan perdarahan Duret dalam batang otak, paling
sering di pons
Herniasi
transtentorial menyebabkan palsy nervus III kranialis ipsilateral, yang
seringnya membutuhkan berbulan-bulan untuk beresolusi sekali tekanan dilepaskan.
Palsy nervus III kranialis bermanifestasi sebagai ptosis, dilatasi pupil, dan
ketidakmampuan menggerakkan mata ke arah medial, atas, dan bawah.
Pada
anak-anak < 3 tahun, fraktur kranium dapat menyebabkan kista leptomeningeal
atau fraktur bertumbuh. Kista ini diyakini muncul ketika pulsasi dan
pertumbuhan otak tidak mengijinkan fraktur untuk sembuh, lalu menambah robek
dura dan batas fraktur membesar. Pasien dengan kista leptomeningeal biasanya
memperlihatkan massa scalp
pulsatil.
SUBDURAL
A.
SUBDURAL
HEMATOM
Hematoma subdural adalah akumulasi darah dibawah lapisan
duramater dan di atas lapisan arakhnoid, penyebabnya adalah robekan permukaan
vena atau pengeluaran kumpulan darah vena. Kelompok lansia dan kelompok
alkoholik merupakan kelompok yang mempunyai frekuensi jatuh yang tinggi serta
derajat atrofi kortikal yang menempatkan struktur jembatan vena yang
menimbulkan permukaan otak dibawah tekanan lebih besar.
1.
Hematoma Subdural Akut
Trauma yang merobek durameter dan
arachnoid sehingga darah CSS masuk ke dalam ruang subdural,Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan
otak dan herniasi batang otak. Keadaan ini menimbulkan berhentinya pernafasan
dan hilangnya kontrol denyut nadi dan tekanan darah. Cedera ini menunjukkan gejala
dalam 24 – 48 jam setelah trauma. Diagnosis dibuat dengan arteriogram karotis
dan ekoensefalogram / CT Scan. Pengobatan terutama tindakan bedah. Lebih dari
sepertiga pasien mengalami traumakejadian, terkadang cukup untuk menimbulkan
suatu perdarahan subdural. Nyeri kepala sebelah dan pembesaran pupil pada sisi
yang sama adalah lebih sering tetapi tidak tampak seringnyaStupor atau koma, hemiparesis, dan
pembesaran pupil merupakan tanda dari hematoma yang besar. Pada pasien
deteriorisasi akut, burr holes atau pada craniotomy dibutuhkan. Hematoma
subdural kecil dapat menjadi asimptomatik dan biasanya tidak membutuhkan
evakuasi
2. Hematoma
Subdural Subakut
Perdarahan ini menyebabkan devisit neurologik yang bermakna dalam waktu
lebih dari 48 jam. Peningkatan tekanan intra kranial disebabkan oleh akumulasi
darah akan menimbulkan herniasi ulkus / sentral dan melengkapi tanda – tanda
neurologik dari kompresi batang otak. Pengobatan ini dengan pengangkatan bekuan
darah. Sindrom yang melibatkan sub akut akibat sindroma hematom subdural timbul
berhari-hari setelah gangguan dengan nyeri kepala, atau hemiparesis ringan; hal
ini biasanya meningkat pada alkoholik dan pada orang tua, seringkali setelah
trauma minor
Pada studi imaging tampak pengumpulan crescentik melewati konveksitas
pada satu atau kedua hemisfer, tetapi lebih sering pada wilayah frontotemporal,
dan sedikit sering pada fosa mid inferior atau melalui oksipital.
Interhemispheric, posterior fossa, atau bilateral convexity hematomas sedikit
lebih sering dan sulit untuk didiagnosa secara klinis, meskipun tanda yang
diharapkan pada setiap kerusakan wilayah biasanya dapat dideteksi. Perdarahan
yang dapat menyebabkan hematoma yang besar aslinya merupakan vena, meskipun
perdarahan arterial tambahan ditempat terkadang ditemukan pada saat operasi dan
beberapa hematoma yang besar memang berasal dari arteri.
3. Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala ini pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan, dan
tahun setelah cedera pertama. Perluasan ini massa terjadi pada kebocoran
kapiler lambat. Gejala umum meliputi sakit kepala, letargi, kacau mental,
kejang, dan kadang – kadang disfasia. Diagnosis dibuat dengan arteriografi.
Pada klien dengan hematoma kecil tanpa tanda–tanda neurologik, maka tindakan
pengobatan yang terbaik adalah melakukan pemantauan ketat. Sedangkan klien
dengan gangguan neurologik yang progresif dan gejala kelemahan, cara pengobatan
yang terbaik adalah pembedahan
Observasi klinis yang digandakan dengan imaging serial merupakan
pendekatan yang berasan dengan beberapa gejala dan koleksi subdural kronik yang
sedikit. Terapi dengan glukokortikoid sendiri cukup untuk beberapa hematoma,
tetapi evakuasi pembedahan lebih sering berhasil. Membrane fibrous yang tumbuh
dari dura dan pengumpulan yang tidak berkapsul membutuhka n pemindahan untuk
mencugah akumulasi cairan berulang. Hematoma kecil diabsorbsi, sisa yang
tinggal hanyalah membrane yang terorganisasi. Pada studi imaging hematoma
subdural kronik dapat sulit untuk dibedakan dengan higroma, dimana pengumpulan
CSF didapatkan dari membrane arachnoid. Sebagaimana disebutkan, kerusakan
korteks dengan penyebab mendasar hematoma kronik dapat timbul sebagai focus
kejang kemudian.
Karena pembagian di atas sukar diterapkan di klinis terutama dalam
rangka “triage“ maka lebih realistis bila pembagian berdasarkan tingkat
kesadaran meskipun terdapat beberapa kekurangan yaitu :
a. Cedera Kepala Berat (GCS : 3-8)
b. Cedera Kepala Sedang (GCS : 9-12)
c. Cedera Kepala Ringan (GCS : 13-15)
d. Perdarahan Intrakranial dengan GCS : Cedera Ringan/sedang dianggap
sebagai cedera kepala berat.
Otak dapat berfungsi dengan baik
bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di
dalam sel–sel syaraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak
punya cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak tidak punya
cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai
bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan
menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan
glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan
terjadi gejala – gejala permulaan disfungsi serebral.
Pada saat
otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui
proses metabolik anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada
kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam
laktat akibat metabolik asidosis. Dalam keadaan normal aliran darah serebral
(CBF) adalah 50 – 60 ml/menit/gr jaringan otak, yang merupakan 15 % dari curah
jantung. (CO).
Oedema otak
disebabkan karena adanya penumpukkan cairan yang berlebihan pada jaringan otak.
Pada klien dengan cedera akibat contusio cerebri, pembuluh kapiler sobek,
cairan traumatik mengandung protein eksudat yang berisi albumin dan cairan
interstitial. Otak pada kondisi normal tidak mengalami oedema otak sehingga
bila terjadi penekanan terhadap pembuluh darah dan jaringan sekitarnya akan
menimbulkan kematian jaringan otak, oedema jaringan otak akan mengakibatkan
peningkatan tekanan intra kranial yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan
pada batang otak.
B. DAMPAK CEDERA KEPALA
1. Faktor pernafasan
Hypertensi setelah cedera kepala terjadi karena pengaruh vasokonstriksi
paru, hypertensi paru, dan oedema paru. Hal ini menyebabkan hypercapnea dan
bronkokonstriksi.
Sensitifitas yang meningkat pada mekanisme pernafasan terhadap
karbondioksida dan periode setelah hyperventilasi akan menyebabkan pernafasan
chynestoke.
2. Faktor kardiovaskuler
Cedera kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung yang mencakup
aktivitas atycikal myocardinal, edema paru dan tekanan vaskuler. Perubahan
otonom pada fungsi ventrikel / perubahan gelombang T, gelombang P tinggi dan
disritmia, vibrilasi atrium dan ventrikel tachycardia. Perubahan aktivitas
myokardial mencakup peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya stroke work,
CVP abnormal. Dengan tidak adanya endogenous stimulus saraf simpatis, maka akan
mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini mengakibatkan
terjadinya penurunan CO2 dan peningkatan tekanan atrium kiri sehingga terjadi
oedema paru.
3. Faktor gastrointestinal
Setelah cedera kepala, perlukaan dan perdarahan pada lambung jarang
ditemukan, tetapi setelah 3 hari pasca cedera terdapat respon yang besar dan
merangsang aktivitas hypthalamus dan stimulus vagus yang dapat menyebabkan
langsung hiperacidium. Hypothalamus merangsang anterior hypofise untuk
mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini merupakan kompensasi tubuh dalam
mengeluarkan kortikosteroid dalam menangani oedema cerebral. Hyperacidium
terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stres
yang mempengaruhi produksi asam lambung.
4. Faktor metabolisme.
Cedera kepala dapat mengakibatkan perubahan metabolisme seperti pada
trauma tubuh lainnya, yaitu kecendrungan retensi sodium / natrium dan air serta
hilangnya sejumlah nitrogen.
Retensi natrium disebabkan karena adanya rangsangan terhadap
hypothalamus yang dapat menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron.
Ginjal mengambil peran dalam proses hemodinamik ginjal untuk mengatasi retensi
natrium. Kemudian natrium keluar bersama urine, hal ini mempengaruhi hubungan
natrium pada serum dan adanya retensi natrium.
Pada pasca hypotermia hilangnya nitrogen yang berlebihan sama dengan
respon metabolik terhadap cedera, karena adanya cedera tubuh maka diperlukan
energi untuk menangani perubahan seluruh sistem.
Tetapi makanan yang masuk
kurang sehingga terjadi penghancuran protein otot sebagai sumber nitrogen
utama, demikian pula respon hypothalamus terhadap cedera, maka akan terjadi
sekresi kortisol, hormon pertumbuhan dan produksi katekolamin dan prolaktin
sehingga terjadi asidosis metabolik karena adanya metabolisme anaerob glukosa
Meskipun SDH secara signifikan membutuhkan terapi
pembedahan, maneuver medis sewaktu dapat digunakan preoperative untuk
menurunkan tekanan intracranial yang meningkat. Pengukuran ini merupakan pintu
untuk setiap lesi massa akut dan telah distandardisasi oleh komunitas bedah
saraf.
1. Sebagaimana dengan pasien trauma lain, resusitasi dimulai dengan ABCs
(airway, breathing, circulation).
a. Semua pasien dengan skor GCS kurang dari 8 harus dilakukan intubasi
untuk perlindungan jalan nafas.
1. Setelah menstabilkan fungsi jalan nafas, lakukan pemeriksaan
neurologis. Respirasi yang adekuat sebaiknya dilakukan dan dijaga untuk
menghindari hipoksia. Hiperventilasi dapat digunakan jika sindrom herniasi
tampak.
2. Tekanan darah pasien harus dijaga pada kadar normal atau tinggi dengan
menggunakan salin isotonic, penekan, atau keduanya. Hipoksia dan hipotensi,
dimana penting pada pasien dengan trauma kepala, merupakan predictor yang
independen untuk hasil yang buruk.
2. Sedatif kerja singkat dan paralitik digunakan hanya ketika diperlukan
untuk memfasilitasi ventilasi adekuat atau ketika peningkatan tekanan
intracranial dicurigai. Jika pasien menampakkan tanda sindrom herniasi, berikan
manitol 1grkg dengan cepat melalui intravena
- Pasien juga sebaiknya dihiperventilasikan ringan (pCO2 ~30-35 mm Hg).
- Pemberian antikonvulsan untuk mencegah kejang yang disebabkan iskemia dan selanjutnya jaga tekanan intracranial.
- Jangan memberikan steroid, sebagaimana mereka telah ditemukan tidak efektif pada pasien dengan trauma kepala.
1.
Tindakan
bedah darurat.
Dari segi bedah saraf sangat penting adalah
komplikasi intrakranial, lesi massa, khususnya hematoma intrakranial
a.
Hematoma
subdural
Yang terpenting dalam hal gawat darurat
adalah hematoma subdural akut (yang terjadi dalam waktu 72 jam sesudah trauma).
Hematoma subdural, khususnya yang berkomplikasi, gejalanya tak dapat dipisahkan
dari kerusakan jaringan otak yang menyertainya; yang berupa gangguan kesadaran
yang berkelanjutan sejak trauma (tanpa lusid interval) yang sering bersamaan
dengan gejala-gejala lesi massa, yaitu hemiparesis, deserebrasi satu sisi, atau
pelebaran pupil.
Dalam hal hematoma subdural yang simple dapat terjadi lusid interval
bahkan dapat tanpa gangguan kesadaran. Sering terdapat lesi multiple. Maka, tindakan CT Scan adalah ideal, karena juga menetapkan apakah lesi multiple atau single. Angiografi karotis cukup bila hanya hematoma subdural
yang didapatkan.
Bila kedua hal tersebut tak mungkin
dikerjakan, sedang gejala dan perjalanan penyakit mengarah pada timbulnya lesi
massa intrakranial, maka dipilih tindakan pembedahan. Tindakan eksploratif burrhole dilanjutkan tindakan
kraniotomi, pembukaan dura, evakuasi hematoma dengan irigasi memakai cairan
garam fisiologis. Sering tampak jaringan otak edematous.
Disini dura dibiarkan terbuka, namun
tetap diperlukan penutupan ruang likuor hingga kedap air. Ini dijalankan dengan
bantuan periost. Perawatan pascabedah ditujukan pada faktor-faktor sistemik
yang memungkinkan lesi otak sekunder.
1.
Fraktur
impresi.
Fraktur impresi terbuka (compound depressed fracture). Indikasi
operasi terutama adalah debridement, mencegah
infeksi. Operasi secepatnya dikerjakan. Dianjurkan sebelum lewat 24 jam
pertama. Pada impresi tertutup, indikasi operasi tidak mutlak kecuali bila
terdapat kemungkinan lesi massa dibawah fraktur atau penekanan daerah motorik
(hemiparesis dan lain-lain).
Indikasi yang lain (lebih lemah), ialah
kosmetik dan kemungkinan robekan dura. Diagnosis dengan x foto kepala 2
proyeksi, kalau perlu dengan proyeksi tangensial. Impresi lebih dari tebal
tulang kepala pada x foto tangensial, mempertinggi kemungkinan robekan dura. X
foto juga diperlukan untuk menentukan letak fragmen-fragmen dan perluasan garis
fraktur; dengan ini ditentukan pula apakah fraktur menyilang sinus venosus.
Impresi fraktur tertutup yang menyilang
garis tengah merupakan kontra indikasi relatif untuk operasi, dalam arti
sebaiknya tidak diangkat bila tidak terdapat gejalayang mengarah pada
kemungkinan lesi massa atau penekanan otak.
Dalam hal fraktur impresi terbuka yang
menyilang sinus venosus maka persyaratan untuk operasi bertambah dengan :
a.
bila luka sangat kotor.
b.
bila angulasi besar.
c.
bila terdapat persediaan darah
cukup.
d.
bila terdapat ketrampilan (skill)dan peralatan yang cukup.
e.
Indikasi
dar dekompresi mendesak untuk subdural hematoma akut telah dilakukan
sebelumnya, dan managemen operasi didiskusikan dengan ringkas.
1. Standar kebalikan pertanyaan menandakan insisi untuk memberikan akses
yang besar terhadap wilayah frontal, temporal dan parietal.
a.
Pasien diposisikan supine dengan
kepala menghadap sisi yang perlu. Penahan bahu ditempatkan untuk mencegah vena
jugularis. Alat Fiksasi kepala 3 titik digunakan pada pasien dengan fraktur
medulla spinalis yang tidak stabil.
b. Seluruh
kepala dicukur duntuk memfasilitasi penempatan monitor tekanan intracranial
pada sisi kontralateral, jika diinginkan.
2.
Pelubangan eksplorasi jarang diindikasikan
tetapi terkadang digunakan sebagai pengukuran untuk keselamatan hidup. Pasien
dengan trauma kepala dapat secara cepat ditriasekan dan dievakuasi dengan pusat
trauma melalui CT Scan, membuat perlubangan eksplorasi manjadi ketinggalan.
Bagaimanapun, perlubangan kepala dapat digunakan untuk dekompresi mendesak pada
apsien yang menunjukkan herniasi cepat jika akses untuk studi radiografi tidak
ada.
3.
SDH seringkali dikaitkan dengan
pembengkakan otak akut. Secara ironis, dekompresi cepat subdural hematom
melalui craniotomy pada pasien ini dapat menyebabkan kerusakan terhadap otak
dengan menjadi herniasi melalui defek kraniotomi. Metode novel untuk dekompresi
dianjurkan untuk mencegah otak dari kerusakan melalui defek kiraniotomi.
Sumbatan dapat dipindahkan melalui pembukaan dura yang kecil.
E.
PROGNOSIS
Hal-hal yang dapat membantu menentukan
prognosis : Usia dan lamanya koma pasca traumatik, makin muda usia, makin
berkurang pengaruh lamanya koma terhadap restitusi mental. Tekanan darah pasca
trauma. Hipertensi pasca trauma memperjelek prognosis. Pupil lebar dengan
fefleks cahaya negatif, prognosis jelek. Reaksi motorik abnormal
(dekortikasi/deserebrasi) biasanya tanda penyembuhan akan tidak sempurna.
Hipertermi, hiperventilasi, Cheyne-Stokes, deserebrasi: menjurus
ke arah hidup vegetative Apnea, pupil tak ada reaksi cahaya, gerakan refleks
mata negatif, tak ada gerakan apapun merupakan tanda-tanda brain death. Ini perlu
dilengkapi dengan EEG yang isoelektrik.
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar