Jumat, 15 Februari 2013

INTRASEREBRAL, EPIDURAL, SUBDURAL


INTRASELEBRAL

A.    PERDARAHAN INTRASELEBRAL
1.      Definisi
Perdarahan intra serebral (PIS) adalah perdarahan yang primer berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma.

2.      Epidemiologi
Usia rata-rata pada umur 53 tahun, interval 40 – 75 tahun. Insiden pada laki-laki sama dengan pada wanita. Angka kematian 60 – 90 %.

3.      Etiologi
Hipertensi merupakan penyebab terbanyak. Faktor etiologi yang lain adalah aneurisma kriptogenik, diskrasia darah, penyakit darah seperti hemofilia, leukemia, trombositopenia, pemakaian anti koagulan dalam jangka lama, malformasi arteriovenosa dan malformasi mikro angiomatosa dalam otak, tumor otak (primer dan metastase) yang tumbuh cepat, amiloidosis serebrovaskuler dan eklamsia (jarang).

4.      Patogenesis
Kasus PIS umumnya terjadi di kapsula interna (70 %), di fossa posterior (batang otak dan serebelum) 20 % dan 10 % di hemisfer (di luar kapsula interna). Gambaran patologik menunjukkan ekstravasasi darah karena robeknya pembuluh darah otak dan diikuti adanya edema dalam jaringan otak di sekitar hematom. Akibatnya terjadi diskontinuitas jaringan dan kompresi oleh hematom dan edema pada struktur sekitar, termasuk pembuluh darah otak dan penyempitan atau penyumbatannya sehingga terjadi iskemia pada jaringan yang dilayaninya, maka gejala klinis yang timbul bersumber dari destruksi jaringan otak, kompresi pembuluh darah otak / iskemia dan akibat kompresi pada jaringan otak lainnya.

5.      Gejala Klinis
Gejala prodromal tidak jelas kecuali nyeri kepala karena hipertensi. Serangan sering terjadi di siang hari, waktu beraktifitas atau emosi / marah.
Sifat nyeri kepala yaitu nyeri yang hebat sekali, mual muntah, sering terdapat pada permulaan serangan. Kesadaran biasanya cepat menurun dan cepat masuk ke keadaan koma.
Tanda-tanda neurologi fokal (paralisis, hilangnya sensorik dan defek kemampuan bicara) sering dijumpai. Kaku kuduk atau rigiditas nuchae sering ditemukan pada perdarahan subarachnoid atau intra serebri.
Paralisis ekstremitas pada fase lanjut biasanya memperlihatkan tanda-tanda penyakit upper motor neuron yaitu kelemahan otot yang bersifat spastik dengan atropi otot, reflek dalam menjadi hiperaktif, reflek superfisial menjadi berkurang atau hilang dan timbul reflek patologis seperti babinsky yang positif.

6.      Diagnosis
Cara yang paling akurat untuk mendefinisikan stroke hemoragik dengan stroke non hemoragik adalah dengan CT scan tetapi alat ini membutuhkan biaya yang besar sehingga diagnosis ditegakkan atas dasar adanya suatu kelumpuhan gejala yang dapat membedakan manifestasi klinis antara perdarahan infark.

Pemeriksaan Penunjang
a.       Kimia darah
b.      Lumbal punksi
c.       EEG
d.      CT scan
e.       Arteriografi

7.      Prognosis
Prognosis dipengaruhi oleh beberapa faktor :
a.       Tingkat kesadaran:
1.      Sadar : 16 % meninggal
2.      Somnolen : 39 % meninggal
3.      Stupor : 71 % meninggal
4.      Koma : 100 % meninggal.
b.      Usia : pada usia 70 tahun atau lebih angka kematian meningkat tajam.
c.       Jenis kelamin : laki-laki lebih banyak meninggal daripada perempuan.
d.      Tekanan darah : bila tinggi prognosis jelek.
e.       Lain-lain : cepat dan tepatnya pertolongan.
8.      Penatalaksanaan
1.      Umum
a.       Istirahat.
b.      Observasi fungsi vital
c.       Monitor kadar gula darah, kemungkinan rendahnya anaerobik glikolisis.
d.      Pemberian makanan peroral, bila perlu NGT.
e.       Perawatan kandung kemih (pasang kateter).
f.       Kontrol BAB, bila perlu beri laksansia.
g.      Hati-hati terjadi dekubitus dan kontraktur.
h.      Rehabilitasi medik secepat mungkin.
2.      Khusus
a.       Anti edema.
b.      Anti perdarahan.
c.       Metobolik aktivator.


EPIDURAL
A.    EPIDURAL
Penggunaan Metode Epidural pertama kali adalah pada tahun 1885, ketika seorang ahli saraf New York J. Leonard Corning menyuntikkan kokain ke bagian tulang belakang pasien yang menderita "kelemahan tulang belakang dan inkontinensia mani. Lebih dari satu abad kemudian, epidural telah menjadi metode analgesia yang paling populer, atau penghilang rasa sakit, di kamar persalinan di AS. Pada tahun 2004, hampir dua-pertiga dari wanita yang bersalin melaporkan bahwa mereka diberikan epidural, termasuk 59 persen wanita yang telah melahirkan pervagina  Di Kanada, sekitar setengah dari wanita yang melahirkan secara normal memakai epidural,  dan di Inggris, 21 persen wanita diberikan epidural sebelum melahirkan
Epidural merupakan suntikan yang menggunakan obat bius lokal (berasal dari kokain) dan disuntikkan ke dalam ruang-ruang epidural yang melindungi sumsum tulang belakang. Pada epidural konvensional klien akan mati rasa baik saraf sensorik maupun motoriknya. Dalam lima sampai sepuluh tahun terakhir, epidural telah dikembangkan dengan konsentrasi obat bius yang (bius local), dan dengan kombinasi anestesi lokal serta opiat (obat yang mirip dengan morfin dan meperidin) pembunuh rasa sakit untuk mengurangi blok motor, dan untuk menghasilkan apa yang disebut epidural "berjalan".
Analgesia Spinal juga telah semakin digunakan dalam persalinan untuk mengurangi blok motor. Spinals menyuntik narkoba menembus dura dan ke dalam ruang (intratekal) tulang belakang, dan hanya menghasilkan analgesia jangka pendek. Untuk memperpanjang-efek menghilangkan rasa sakit dalam persalinan, dosis bisa ditambah sesuai kebutuhan
Epidurals dan spinals menawarkan bentuk yang paling efektif dari penghilang rasa sakit yang tersedia dalam pertolongan persalinan, dan wanita yang telah menggunakan analgesia untuk mengurangi rasa nyeri mempunyai tingkat kepuasan yang tinggi terhadap metode ini, Namun, kepuasan tidak mengalami nyeri ini tidak tidak sama dengan kepuasan keseluruhan keseluruhan persalinan selain itu ternyata epidural juga dapat membahayakan keselamatan ibu dan bayi.

1.      Epidural dan hormon persalinan
Secara signifikan penggunaan epidural mengganggu beberapa hormon utama persalinan, yang dapat mempunyai dampak negatif pada proses kelahiran 
WHO mengatakan bahwa analgesia epidural adalah salah satu contoh yang paling mencolok dari medikalisasi persalinan normal. yang, mengubah acara fisiologis menjadi prosedur medis
Sebagai contoh, oksitosin, yang dikenal sebagai hormon cinta, yang juga merupakan uterotonika alami-sebuah zat yang menyebabkan rahim wanita untuk mengalami kontraksi selama proses persalinan. Epidural membuat produksi oksitosin alami dalam tubuh menurun bahkan hilang  Anestesi epidural juga melenyapkan ekskresi puncak oksitosin yang harusnya terjadi saat bayi dilahirkan (11) –padahal hormone oksitosin inilah yang membantu ibu dan bayi untuk jatuh cinta pada pertemuan pertama. Hormon lain yang penting dalam uterotonika seperti, prostaglandin F2 alfa, juga berkurang pada wanita yang menggunakan epidural
B eta-endorphin adalah hormon alami yang berfungsi untuk membantu wanita yang bersalin untuk mengatasi rasa sakit. Beta-endorphin juga berhubungan dengan kondisi kesadaran yang berubah pada proses persalinan. Hormon ini juga membantu menuntun ibu untuk berjuang dan bekerjasama secara naluriah dengan tubuhnya dan bayinya, sehingga kadang wanita bersalin sering menggunakan gerakan dan suara. Epidural mengurangi produksi beta-endorphin dalam tubuh wanita
Adrenaline dan noradrenalin (epinefrin dan norepinefrin, yang dikenal sebagai katekolamin, atau CA) juga dirilis atau di produksi di bawah kondisi stres, dan terjadi peningkatan alami selama persalinan tanpa pengobatan (15) Pada tahap akhir kala 2 persalinan, lonjakan hormon alami ini memberikan ibu energi untuk mendorong bayi keluar, dan membuat dia bersemangat dan penuh waspada pada pertemuan pertama dengan bayinya. Hal ini dikenal sebagai refleks ejeksi fetus (the fetal ejection reflex )
Namun persalinan dapat di hambat dengan tingkat CA yang sangat tinggi, yang dapat dilepaskan ketika wanita merasa lapar, dingin, takut, atau tidak aman selama persalinan ini masuk akal karena Jika indra ibu mengatakan bahaya, maka hormon nya akan memperlambat atau menghentikan persalinan dan memberinya waktu untuk “melarikan diri” untuk mencari tempat yang aman untuk melahirkan. Dan ini normal dalam proses evolusi manusia.
Epidural mengurangi produksi CA pada ibu bersalin yang sebenarnya membantu dalam persalinan. Namun, penurunan produksi CA akhir dapat berkontribusi pada kesulitan seorang wanita untuk mempunyai keinginan mengejan atau semangat untuk mendorong bayinya keluar.
Sehingga akhirnya ini sangat meningkatkan risiko persalinan dengan instrumental (forseps dan vakum)

2.      Efek pada proses persalinan
Epidurals membuat persalinan berjalan lebih lambat, karena bukti dari penelitian bahwa anestesi lokal yang digunakan dalam epidural dapat menghambat kontraksi dengan langsung mempengaruhi otot rahim
Sebagai contoh, epidural juga membuat otot panggul terasa kebas/ baal, padahal otot panggul ini penting dalam membimbing dan mengubah kepala bayi untuk bergerak menuju posisi yang terbaik untuk dilahirkan. Epidural membuat resiko empat kali lebih tinggi pada kemungkinan kejadian posisi kepala bayi posterior pada tahap akhhir dalam sebuah penelitian kejadian ini 13 persen lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang bersalin tanpa epidural yang hanya 3 persen. Posisi posterior ini tentu saja akan mengurangi kesempatan melahirkan melalui vagina secara spontan dalam sebuah studi, hanya 26 persen pada ibu yang melahirkan pertama kali (dan 57 persen dari ibu yang berpengalaman) dengan bayi bayi posterior dapat bersalin per vaginam dengan spontan, lainnya langsung dilakukan forcep, vaccum atau bahkan SC
Resiko bagi bayi, persalinan dengan bantuan instrumental dapat meningkatkan risiko jangka pendek seperti memar, cedera wajah, dan cephalohematoma (bekuan darah di bawah kulit kepala)  Risiko perdarahan intrakranial (pendarahan dalam otak) meningkat dalam sebuah studi lebih dari empat kali untuk bayi yang lahir dengan forsep dibandingkan dengan kelahiran spontan,  meskipun dua studi menunjukkan tidak ada perbedaan perkembangan terdeteksi untuk kelahiran anak forseps
Epidural juga meningkatkan kebutuhan untuk Pitocin untuk menambah kontraksi, wanita yang bersalin dengan epidural hampir tiga kali lebih mungkin diberikan Pitocin . Kombinasi epidural dan Pitocin, dapat menyebabkan kelainan pada denyut jantung janin (Foetal Heart Rate) yang memicu fetal distress, sehingga secara nyata meningkatkan risiko operasi (forseps, vakum, atau sesar). Dalam salah satu survei diAustralia, sekitar setengah ibu yang pertama kali bersalin dan diberikan epidural berakhir dengan persalinan SC

3.      Efek samping Epidural
Obat yang digunakan dalam persalinan dengan epidural yang cukup kuat membuat mati rasa, dan biasanya melumpuhkan, dan dapat mempengaruhi tekanan darah ibu, sehingga tidak mengherankan bahwa akan ada efek samping yang signifikan bagi ibu dan bayi.

4.      Efek samping bagi Ibu
a.       Efek samping yang paling umum dari epidural adalah penurunan tekanan darah. Efek ini hampir universal, dan biasanya di dahului dengan pemberian cairan IV sebelum memberikan epidural. Hipotensi dapat menyebabkan komplikasi mulai dari perasaan pingsan serangan jantung,  dan juga dapat mempengaruhi suplai darah ke bayi. Hipotensi dapat diobati dengan pemberian cairan IV lebih banyak dan, jika parah, dengan suntikan epinefrin (adrenalin).
b.      Ketidakmampuan untuk buang air kecil (dan kebutuhan untuk pemasangan kateter kencing)
c.       Gatal-gatal pada kulit (pruritus)
d.      Menggigil
e.       Mual dan muntah
f.       Epidurals juga dapat menyebabkan kenaikan suhu tubuh pada ibu bersalin.
g.      Dapat menyebabkan kesulitan bernapas yang tak terduga bagi ibu
h.      Meningkatkan resiko persarahan post partum
i.        Menyebabkan sakit kepala parah yang dapat bertahan hingga enam minggu

5.      Efek samping untuk bayi
a.       Trauma persalinan
b.      Resiko kecanduan pada masa remaja nanti
c.       Perubahan denyut jantung janin yang dapat menyebabkan distress
d.      Suplai oksigen berkurang akibat tekanan darah ibu yang berkurang
e.       APGAR yang kurang
f.       Salah satu peneliti telah mencatat sepuluh kali lipat peningkatan risiko ensefalopati baru lahir (tanda-tanda kerusakan otak) pada bayi lahir dengan ibu yang demam akibat epidural
g.      Resiko untuk mengalami kejang pada periode baru lahir lebih tinggi, dibandingkan dengan bayi yang lahir normal
h.      beberapa studi terhadap kondisi bayi saat lahir, dan hampir semua bayi yang lahir setelah epidural dibandingkan dengan bayi yang lahir setelah terpapar obat opiat, yang diketahui menyebabkan kantuk dan kesulitan bernapas.
i.        Beberapa studi yang membandingkan bayi terkena epidural dengan bayi yang ibunya tidak menerima obat yang telah menemukan dampak neurobehavioral yang signifikan.

Epidurals juga dapat mempengaruhi pengalaman dan keberhasilan menyusui melalui beberapa mekanisme. Pertama, bayi yang terkena epidural mungkin memiliki kelainan neurobehavioral disebabkan oleh paparan obat yang kemungkinan akan maksimal dalam beberapa jam-yang kritis waktu kelahirannya untuk inisiasi menyusui. Penelitian terakhir telah menemukan (agak jelas) bahwa semakin tinggi skor neurobehavior pada bayi baru lahir, semakin tinggi nilai mereka untuk perilaku menyusui
Dalam penelitian lain, bayi yang terpapar epidural dan spinals lebih mungkin untuk menurunkan berat badan di rumah sakit,
kedua, epidural dapat mempengaruhi perilaku dan kondisi ibu baru, membuatnya lebih sulit menyusui. Hal ini mungkin jika dia telah mengalami persalinan yang panjang, persalinan dengan instrumental, atau pemisahan dari bayinya, yang semuanya lebih mungkin terjadi pada persalinan epidural. gangguan hormonal juga berperan mengingat oksitosin adalah hormone utama dalam proses menyusui

B.     ANASTESI EPIDURAL
Anestesi epidural atau bius lokal dari pinggang ke bawah adalah teknik untuk menghilangkan rasa sakit dengan memasukan zat anestesi lewat suntikan melalui otot pinggang hingga ke daerah epidural (salah satu bagian dari susunan saraf pusat di bagian tulang belakang). Hal ini dilakukan oleh dokter anestesi. Pembiusan dilakukan melalui suntikan tadi,sifatnya memblok daerah yang disuntik sampai ke bagian bawah, sehingga si ibu tidak merasa nyeri di daerah tersebut.
Bila ibu menggunakan anestesi ini maka saat mengalami kontraksi, ibu tidak merasakan adanya nyeri sama sekali. Sehingga saat sampai waktunya ibu harus mengejan, maka ibu akan dituntun untuk mengejan sesuai dengan datangnya kontraksi yang dinilai oleh dokter. Dengan kata lain ibu sama sekali tidak tahu kapan ibu merasa harus mengejan, karena stimulasi yang merangsang hal tersebut tidak dirasakan sama sekali. Karena tidak adanya stimulasi tersebut, maka kadang proses persalinan menjadi lebih lama dan ada kemungkinan persalinan harus dibantu dengan menggunakan vacuum atau forsep, Walaupun begitu, hasil akhir tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara bayi yang lahir normal atau menggunakan metode ini.
Obat anestesi epidural akan bekerja selama beberapa jam, yang sebelum efeknya habis, dokter anestesi akan memberikan instruksi untuk memberikan suntikan obat anestesi epidural selanjutnya melalui kateter yang sudah dipasang. Ibu masih dapat melakukan aktivitas seperti biasa karena saraf yang di blok hanyalah saraf yang memberikan rangsang nyeri.
Untuk persalinan, blokade dikhususkan untuk mengurangi rasa sakit di daerah rahim, leher rahim dan bagian atas vagina. Tetapi otot pangul masih dapat melakukan gerakan rotasi kepala bayi untuk keluar dari jalan lahir ibu. Ibu masih bisa mengejan, sehingga masih dapat dilakukan persalinan melalui jalan lahir.

Keuntungan penggunaan epidural
1.      80 persen ibu berhasil mengatasi rasa sakit.
2.      Tidak mengacaukan pikiran
3.      Membantu dalam mengontrol tekanan darah tinggi
Dampak yang  di timbulkan terhadap hormon persalinan.
1.      Ini bisa  menghambat produksi beta-endorphin.
2.      Epidural mengurangi produksi oksitosin selama persalinan.
3.      Epidural juga menghambat produksi katekolamin (CA). Ingat bahwa CA dapat      memperlambat atau menghentikan persalinan pada tahap awal, tetapi mempromosikan refleks ejeksi janin pada tahap kedua persalinan.
Sehingga menghambat produksi CA dapat membuat proses persalinan menjadi lebih sulit.
4.      Epidural membatasi pelepasan prostaglandin F2 alfa, suatu senyawa lipid yang merangsang kontraksi rahim dan dianggap terlibat dengan inisiasi persalinan.
5.      Epidural mengganggu proses persalinan dan memiliki efek samping bagi ibu seperti:
a.       Dapat memperpanjang lama persalinan
b.      Tiga kali lipat meningkatkan risiko robek perineum yang parah. Karena banyak dari ibu   yang memilih epidural ternyata harus berakhir di persalinan tindakan seperti forceps & Vacum
c.       Dua kali lipat meningkatkan risiko operasi caesar
d.      Tiga kali lipat meningkatkan terjadinya induksi dengan oksitosin sintetis (Pitocin).
e.       Empat kali lipat meningkatkan kemungkinan bayi akan terus-menerus berada dalam posisi posterior (menghadap ke atas) dalam tahap akhir persalinan (gagal melakukan putaran paksi di dalam panggul), yang pada gilirannya mengurangi kemungkinan kelahiran vagina spontan.
f.       Mengurangi kemungkinan persalinan per vagina spontan.
g.      Meningkatkan kemungkinan komplikasi dari persalinan dengan instrumen. Ketika wanita dengan epidural bersalin menggunakan forceps, jumlah gaya yang digunakan oleh dokter hampir dua kali lipat lebih besar dibandingkan dengan tidak menggunakan epidural. Hal ini penting karena dapat meningkatkan resiko jangka pendek akibat persalinan dengan instrumen seperti memar, luka wajah, perpindahan dari tulang tengkorak dan pembekuan darah di kulit kepala bayi, dan episiotomi dan robekan pada vagina dan perineum ibu.
Efek samping untuk Bayi
1.      Sangat penting untuk memahami bahwa obat-obatan diberikan oleh epidural memasuki aliran darah bayi pada tingkat yang sama dan kadang-kadang bahkan lebih tinggi dibandingkan yang ada dalam aliran darah ibu.
2.      Namun, karena sistem kekebalan tubuh bayi belum matang, diperlukan waktu lebih lama bagi mereka untuk menghilangkan efek obat epidural. Sebagai contoh, metabolisme bupivacain, analgesik epidural yang umum digunakan, adalah 2,7 jam pada orang dewasa tapi pada bayi baru lahir memerlukan waktu 8 jam.
3.      Studi telah menemukan jumlah metabolit bupivacain terdeteksi dalam urin bayi baru lahir 36 jam setelah anestesi spinal pada persalinan SC.
4.      Beberapa studi telah menemukan defisit dalam kemampuan bayi baru lahir yang konsisten akibat obat yang digunakan dalam epidural.
5.      Penelitian lain menemukan bahwa anestesi lokal yang digunakan dalam epidural dapat berpengaruh buruk pada sistem kekebalan tubuh bayi baru lahir, mungkin dengan mengaktifkan respon stres.
6.      Ada bukti bahwa epidural dapat  mempengaruhi pasokan oksigen dalam aliran darah janin, mungkin karena adanya penurunan tekanan darah ibu  yang terjadi akibat epidural .
7.      Epidural telah terbukti menyebabkan bradikardia janin, penurunan denyut jantung janin (DJJ). Ini mungkin efek sekunder dari adanya penurunan kadar katekolamin (CA) ibu disebabkan oleh epidural yang pada gilirannya menyebabkan tekanan darah rendah dan rahim hiper-stimulasi.
8.      Epidural dapat menyebabkan demam pada ibu, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi bayi. Dalam sebuah studi besar pertama kali ibu, bayi lahir dari ibu dengan demam (97% di antaranya telah epidural)
9.      Epidural juga dapat meningkatkan kemungkinan nilai Apgar skor rendah saat lahir, sehingga memerlukan resusitasi dan mengalami kejang pada periode baru lahir
10.  Beberapa studi menunjukkan bahwa epidural dapat mengganggu ikatan normal/bonding yang terjadi antara ibu dan bayi setelah lahir.
11.  Ada juga bukti bahwa epidural dapat menurunkan efisiensi menyusui.
Belum masuk ke daerah panggul, atau ada kemungkinan panggul Anda kecil untuk dilalui bayi dengan berat tertentu, atau panggul Anda asimetris, maka tidak dapat dilakukan persalinan dengan menggunakan anastesi ini.

C.    PERDARAHAN EPIDURAL
Perdarahan epidural adalah perdarahan yang menghasilkan sekumpulan darah diluar dura mater otak atau tulang belakang. Perdarahan biasanya sebagai akibat dari robeknya arteri meningea media dan mungkin dengan cepat mengancam jiwa. Juga disebut perdarahan ekstradural.
1.      Etiologi
Trauma merupakan penyebab khas perdarahan epidural, meskipun perdarahan spontan bisa saja muncul. Trauma seringnya berupa benturan tumpul pada kepala akibat serangan, terjatuh, atau kecelakan lain; trauma akselerasi-deselerasi dan gaya melintang. Distosia, ektraksi forseps, dan tekanan kranium berlebihan pada jalan lahir juga mencakup perdarahan pada bayi baru lahir.

2.      Patofisiologi
Tidak seperti perdarahan subdural, kontusio serebral, ataupun cedera aksonal difusa otak, perdarahan epidural tidak diakibatkan sekunder dari gerakan kepala atau akselerasi. Perdarahan epidural disebabkan gangguan struktural pembuluh darah kranium dan dura umumnya dihubungkan dengan fraktur calvaria. Laserasi arteri meningea media dan sinus dura yang menyertainya adalah etiologi yang paling umum.
Pada fossa posterior, gangguan sinus venosus dura (misal, sinus transversum atau sigmoid) oleh fraktur dapat menyebabkan perdarahan epidural. Gangguan sinus sagitalis superior dapat menyebabkan perdarahan epidural pada vertex. Sumber perdarahan epidural non-arterial lainnya termasuk venous lakes, diploic veins, granulasi arachnoid, dan sinus petrosus
Sejumlah kecil perdarahan epidural telah dilaporkan tanpa adanya trauma. Etiologinya termasuk penyakit infeksi kranium, malformasi vaskuler dura mater, dan metastase ke kranium. Perdarahan epidural spontan juga bisa berkembang pada pasien dengan koagulopati sehubungan dengan masalah medis primer lainnya (misal, penyakit hati stadium akhir, alkoholisme kronik, keadaan penyakit lain sehubungan dengan disfungsi trombosit)
3.     Gambaran Klinik
Kebanyakan perdarahan epidural asalnya adalah trauma, seringnya melibatkan benturan tumpul pada kepala. Pasien mungkin memiliki bukti eksternal cedera kepala seperti laserasi kulit kepala, cephalohematoma, atau kontusio. Cedera sistemik juga dapat muncul. Tergantung pada daya benturan, pasien mungkin saja tidak kehilangan kesadaran, kehilangan kesadaran singkat, atau kehilangan kesadaran berkepanjangan.
Interval lucid klasik muncul pada 20-50% pasien dengan perdarahan epidural. Pada awalnya, tekanan mudah-lepas yang menyebabkan cedera kepala mengakibatkan perubahan kesadaran. Setelah kesadaran pulih, perdarahan epidural terus meluas sampai efek massa perdarahan itu sendiri menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, menurunnya tingkat kesadaran, dan kemungkinan sindroma herniasi. Interval lucid yang bergantung pada luasnya cedera, merupakan kunci untuk menegakkan diagnosa perdarahan epidural.
Dengan hipertensi intrakranial berat, respon Cushing mungkin muncul. Trias Cushing klasik melibatkan hipertensi sistemik, bradikardia, dan depresi pernafasan. Respon ini biasanya muncul ketika perfusi serebral, terutama sekali batang otak, dikompromi oleh peningkatan tekanan intra kranial. Terapi anti hipertensi selama ini mungkin menyebabkan iskemia serebral akut dan kematian sel. Evakuasi lesi massa mengurangi respon Cushing.
Penilaian neurologis penting. Perhatian terutama diberikan pada tingkat kesadaran, aktivitas motorik, pembukaan mata, respon verbal, reaktivitas dan ukuran pupil, dan tanda-tanda lateralisasi seperti hemiparesis atau hemiplegia. GCS penting dalam menilai kondisi klinis terkini.
GCS positif berhubungan dengan hasil akhir. Pada pasien yang sadar dengan lesi massa, fenomena drift pronator mungkin membantu dalam menilai arti klinis. Arah ekstremitas ketika pasien diminta menahan kedua lengan teregang keluar dengan kedua telapak tangan menghadap keatas mengindikasikan efek massa yang sulit dipisahkan namun penting.
Pada pencitraan yang dihasilkan oleh CT scan dan MRI, perdarahan epidural biasanya tampak berbentuk konveks karena ekspansinya berhenti pada sutura kranium, dimana dura mater sangat erat melekat ke kranium. Perdarahan epidural dapat muncul dalam kombinasi dengan perdarahan subdural, ataupun dapat muncul sendiri. CT-scan mengungkap perdarahan subdural atau epidural pada 20% pasien yang kehilangan kesadaran

4.      Anatomi
Dibawah tulang kranium terletak dura mater, yang terletak diatas struktur leptomeningeal, arachnoid, dan pia mater, yang pada gilirannya, terletak diatas otak. Dura mater terdiri atas 2 lapisan, dengan lapisan terluar bertindak sebagai lapisan periosteal bagi permukaan dalam kranium.
Seiring bertambahnya usia seseorang, dura menjadi penyokong pada kranium, mengurangi frekuensi pembentukan perdarahan epidural. Pada bayi baru lahir, kranium lebih lembut dan lebih kecil kemungkinan terjadinya fraktur. Perdarahan epidural dapat terjadi ketika dura terkupas dari kranium saat terjadi benturan.
Dura paling menyokong sutura, yang menghubungkan berbagai tulang pada kranium. Sutura mayor merupakan sutura coronalis (tulang-tulang frontal dan parietal), sutura sagitalis (kedua tulang parietal), dan sutura lambdoidea (tulang-tulang parietal dan oksipital). Perdarahan epidural jarang meluas keluar sutura.
Regio yang paling sering terlibat dengan perdarahan epidural adalah regio temporal (70-80%). Pada regio temporal, tulangnya relatif tipis dan arteri meningea media dekat dengan skema bagian dalam kranium. Insiden perdarahan epidural pada regio temporal lebih rendah pada pasien pediatri karena arteri meningea media belum membentuk alur dalam skema bagian dalam kranium. Perdarahan epidural muncul pada frontal, oksipital, dan regio fossa posterior kira-kira pada frekuensi yang sama. Perdarahan epidural muncul kurang begitu sering pada vertex atau daerah para-sagital.
Berdasarkan studi anatomi terbaru oleh Fishpool dkk, laserasi arteri ini mungkin menyebabkan campuran perdarahan arteri dan vena.
Perdarahan epidural jika tidak ditangani dengan observasi atau pembedahan yang hati-hati, akan mengakibatkan herniasi serebral dan kompresi batang otak pada akhirnya, dengan infark serebral atau kematian sebagai konsekuensinya. Karenanya, mengenali perdarahan epidural sangat penting.

5.      Pemeriksaan Laboratorium
Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung trombosit) penting dalam penilaian pasien dengan perdarahan epidural, baik spontan maupun trauma.
Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin jaringan, yang mengakibatkan DIC. Pengetahuan utama akan koagulopati dibutuhkan jika pembedahan akan dilakukan. Jika dibutuhkan, faktor-faktor yang tepat diberikan pre-operatif dan intra-operatif.
Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan penurunan yang signifikan pada level hematokrit dalam rongga kranium kaku. Pada bayi, yang volume darahnya terbatas, perdarahan epidural dalam kranium meluas dengan sutura terbuka yang menyebabkan kehilangan darah yang berarti. Perdarahan yang demikian mengakibatkan ketidakstabilan hemodinamik; karenanya dibutuhkan pengawasan berhati-hati dan sering terhadap level hematokrit.

6.     Pencitraan
a.       Radiografi
1.      Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan vaskular cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau vertex juga mungkin diamati.
2.      Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan epidural. Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan fraktur kranium. Pada anak-anak, jumlah ini berkurang karena kecacatan kranium yang lebih besar.
b.      CT-scan
1.      CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam mendiagnosa perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang ditempati perdarahan epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke skema bagian dalam kranium, khususnya pada garis sutura, memberi tampilan lentikular atau bikonveks. Hidrosefalus mungkin muncul pada pasien dengan perdarahan epidural fossa posterior yang besar mendesak efek massa dan menghambat ventrikel keempat.
2.      CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu hematom kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas hemoglobin dalam hematom menentukan jumlah radiasi yang diserap.
3.      Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim otak dari waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut memperlihatkan hiperdensitas (yaitu tanda terang pada CT-scan). Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-4 minggu, lalu menjadi hipodensitas (yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah hiperakut mungkin diamati sebagai isodensitas atau area densitas-rendah, yang mungkin mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau level hemoglobin serum yang rendah.
4.      Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area dimana konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan epidural vertex dapat disalahtafsirkan sebagai artefak dalam potongan CT-scan aksial tradisional. Bahkan ketika terdeteksi dengan benar, volume dan efek massa dapat dengan mudah disalahartikan. Pada beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan sagital dapat digunakan untuk mengevaluasi hematom pada lempengan coronal.
5.      Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi intrakranial lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan subdural, kontusio serebral, dan hematom intraserebral
c.       MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini kurang tepat untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa, bagaimanapun, dapat diamati ketika meluas.


7.      Pengobatan
1.      Terapi Obat-obatan
Pengobatan perdarahan epidural bergantung pada berbagai faktor. Efek yang kurang baik pada jaringan otak terutama dari efek massa yang menyebabkan distorsi struktural, herniasi otak yang mengancam-jiwa, dan peningkatan tekanan intrakranial.
Dua pilihan pengobatan pada pasien ini adalah
a.       intervensi bedah segera dan
b.      pengamatan klinis ketat, di awal dan secara konservatif dengan evakuasi tertunda yang memungkinkan
Catatan bahwa perdarahan epidural cenderung meluas dalam hal volume lebih cepat dibandingkan dengan perdarahan subdural, dan pasien membutuhkan pengamatan yang sangat ketat jika diambil rute konservatif.
Tidak semua kasus perdarahan epidural akut membutuhkan evakuasi bedah segera. Jika lesinya kecil dan pasien berada pada kondisi neurologis yang baik, mengamati pasien dengan pemeriksaan neurologis berkala cukup masuk akal.
Meskipun manajemen konservatif sering ditinggalkan dibandingkan dengan penilaian klinis, publikasi terbaru “Guidelines for the Surgical Management of Traumatic Brain Injury” merekomendasikan bahwa pasien yang memperlihatkan perdarahan epidural < 30 ml, < 15 mm tebalnya, dan < 5 mm midline shift, tanpa defisit neurologis fokal dan GCS > 8 dapat ditangani secara non-operatif. Scanning follow-up dini harus digunakan untukmenilai meningkatnya ukuran hematom nantinya sebelum terjadi perburukan. Terbentuknya perdarahan epidural terhambat telah dilaporkan. Jika meningkatnya ukuran dengan cepat tercatat dan/atau pasien memperlihatkan anisokoria atau defisit neurologis, maka pembedahan harus diindikasikan. Embolisasi arteri meningea media telah diuraikan pada stadium awal perdarahan epidural, khususnya ketika pewarnaan ekstravasasi angiografis telah diamati.
Ketika mengobati pasien dengan perdarahan epidural spontan, proses penyakit primer yang mendasarinya harus dialamatkan sebagai tambahan prinsip fundamental yang telah didiskusikan diatas.

2.      Terapi Bedah
Berdasarkan pada “Guidelines for the Management of Traumatic Brain Injury“, perdarahan epidural dengan volume > 30 ml, harus dilakukan intervensi bedah, tanpa mempertimbangkan GCS.
Kriteria ini menjadi sangat penting ketika perdarahan epidural memperlihatkan ketebalan 15 mm atau lebih, dan pergeseran dari garis tengah diatas 5 mm. Kebanyakan pasien dengan perdarahan epidural seperti itu mengalami perburukan status kesadaran dan/atau memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi.
Lokasi juga merupakan faktor penting dalam menentukan pembedahan. Hematom temporal, jika cukup besar atau meluas, dapat mengarah pada herniasi uncal dan perburukan lebih cepat. Perdarahan epidural pada fossa posterior yang sering berhubungan dengan gangguan sinus venosus lateralis, sering membutuhkan evakuasi yang tepat karena ruang yang tersedia terbatas dibandingkan dengan ruang supratentorial.
Sebelum adanya CT-scan, pengeboran eksplorasi burholes merupakan hal yang biasa, khususnya ketika pasien memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi atau perburukan yang cepat. Saat ini, dengan teknik scan-cepat, eksplorasi jenis ini jarang dibutuhkan.
Saat ini, pengeboran eksplorasi burholes disediakan bagi pasien berikut ini:
a.       Pasien dengan tanda-tanda lokalisasi menetap dan bukti klinis hipertensi intrakranial yang tidak mampu mentolerir CT-scan karena instabilitas hemodinamik yang berat.
b.      Pasien yang menuntut intervensi bedah segera untuk cedera sistemiknya.

8.      Komplikasi
Kebanyakan dari komplikasi perdarahan epidural muncul ketika tekanan yang mereka kerahkan mengakibatkan pergeseran otak yang berarti. Ketika otak menjadi subyek herniasi subfalcine, arteri serebral anterior dan posterior mungkin tersumbat, menyebabkan infark serebral
Herniasi kebawah batang otak menyebabkan perdarahan Duret dalam batang otak, paling sering di pons
Herniasi transtentorial menyebabkan palsy nervus III kranialis ipsilateral, yang seringnya membutuhkan berbulan-bulan untuk beresolusi sekali tekanan dilepaskan. Palsy nervus III kranialis bermanifestasi sebagai ptosis, dilatasi pupil, dan ketidakmampuan menggerakkan mata ke arah medial, atas, dan bawah.
Pada anak-anak < 3 tahun, fraktur kranium dapat menyebabkan kista leptomeningeal atau fraktur bertumbuh. Kista ini diyakini muncul ketika pulsasi dan pertumbuhan otak tidak mengijinkan fraktur untuk sembuh, lalu menambah robek dura dan batas fraktur membesar. Pasien dengan kista leptomeningeal biasanya memperlihatkan massa scalp pulsatil.


SUBDURAL

A.    SUBDURAL HEMATOM
Hematoma subdural adalah akumulasi darah dibawah lapisan duramater dan di atas lapisan arakhnoid, penyebabnya adalah robekan permukaan vena atau pengeluaran kumpulan darah vena. Kelompok lansia dan kelompok alkoholik merupakan kelompok yang mempunyai frekuensi jatuh yang tinggi serta derajat atrofi kortikal yang menempatkan struktur jembatan vena yang menimbulkan permukaan otak dibawah tekanan lebih besar.

1.      Hematoma Subdural Akut
Trauma yang merobek durameter dan arachnoid sehingga darah CSS masuk ke dalam ruang subdural,Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak. Keadaan ini menimbulkan berhentinya pernafasan dan hilangnya kontrol denyut nadi dan tekanan darah. Cedera ini menunjukkan gejala dalam 24 – 48 jam setelah trauma. Diagnosis dibuat dengan arteriogram karotis dan ekoensefalogram / CT Scan. Pengobatan terutama tindakan bedah. Lebih dari sepertiga pasien mengalami traumakejadian, terkadang cukup untuk menimbulkan suatu perdarahan subdural. Nyeri kepala sebelah dan pembesaran pupil pada sisi yang sama adalah lebih sering tetapi tidak tampak seringnyaStupor atau koma, hemiparesis, dan pembesaran pupil merupakan tanda dari hematoma yang besar. Pada pasien deteriorisasi akut, burr holes atau pada craniotomy dibutuhkan. Hematoma subdural kecil dapat menjadi asimptomatik dan biasanya tidak membutuhkan evakuasi

2.      Hematoma Subdural Subakut
Perdarahan ini menyebabkan devisit neurologik yang bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam. Peningkatan tekanan intra kranial disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi ulkus / sentral dan melengkapi tanda – tanda neurologik dari kompresi batang otak. Pengobatan ini dengan pengangkatan bekuan darah. Sindrom yang melibatkan sub akut akibat sindroma hematom subdural timbul berhari-hari setelah gangguan dengan nyeri kepala, atau hemiparesis ringan; hal ini biasanya meningkat pada alkoholik dan pada orang tua, seringkali setelah trauma minor
Pada studi imaging tampak pengumpulan crescentik melewati konveksitas pada satu atau kedua hemisfer, tetapi lebih sering pada wilayah frontotemporal, dan sedikit sering pada fosa mid inferior atau melalui oksipital. Interhemispheric, posterior fossa, atau bilateral convexity hematomas sedikit lebih sering dan sulit untuk didiagnosa secara klinis, meskipun tanda yang diharapkan pada setiap kerusakan wilayah biasanya dapat dideteksi. Perdarahan yang dapat menyebabkan hematoma yang besar aslinya merupakan vena, meskipun perdarahan arterial tambahan ditempat terkadang ditemukan pada saat operasi dan beberapa hematoma yang besar memang berasal dari arteri.

3.      Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala ini pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan, dan tahun setelah cedera pertama. Perluasan ini massa terjadi pada kebocoran kapiler lambat. Gejala umum meliputi sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, dan kadang – kadang disfasia. Diagnosis dibuat dengan arteriografi. Pada klien dengan hematoma kecil tanpa tanda–tanda neurologik, maka tindakan pengobatan yang terbaik adalah melakukan pemantauan ketat. Sedangkan klien dengan gangguan neurologik yang progresif dan gejala kelemahan, cara pengobatan yang terbaik adalah pembedahan
Observasi klinis yang digandakan dengan imaging serial merupakan pendekatan yang berasan dengan beberapa gejala dan koleksi subdural kronik yang sedikit. Terapi dengan glukokortikoid sendiri cukup untuk beberapa hematoma, tetapi evakuasi pembedahan lebih sering berhasil. Membrane fibrous yang tumbuh dari dura dan pengumpulan yang tidak berkapsul membutuhka n pemindahan untuk mencugah akumulasi cairan berulang. Hematoma kecil diabsorbsi, sisa yang tinggal hanyalah membrane yang terorganisasi. Pada studi imaging hematoma subdural kronik dapat sulit untuk dibedakan dengan higroma, dimana pengumpulan CSF didapatkan dari membrane arachnoid. Sebagaimana disebutkan, kerusakan korteks dengan penyebab mendasar hematoma kronik dapat timbul sebagai focus kejang kemudian.

Karena pembagian di atas sukar diterapkan di klinis terutama dalam rangka “triage“ maka lebih realistis bila pembagian berdasarkan tingkat kesadaran meskipun terdapat beberapa kekurangan yaitu :
a.       Cedera Kepala Berat (GCS : 3-8)
b.      Cedera Kepala Sedang (GCS : 9-12)
c.       Cedera Kepala Ringan (GCS : 13-15)
d.      Perdarahan Intrakranial dengan GCS : Cedera Ringan/sedang dianggap sebagai cedera kepala berat.

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel–sel syaraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak punya cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak tidak punya cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala – gejala permulaan disfungsi serebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolik asidosis. Dalam keadaan normal aliran darah serebral (CBF) adalah 50 – 60 ml/menit/gr jaringan otak, yang merupakan 15 % dari curah jantung. (CO).
Oedema otak disebabkan karena adanya penumpukkan cairan yang berlebihan pada jaringan otak. Pada klien dengan cedera akibat contusio cerebri, pembuluh kapiler sobek, cairan traumatik mengandung protein eksudat yang berisi albumin dan cairan interstitial. Otak pada kondisi normal tidak mengalami oedema otak sehingga bila terjadi penekanan terhadap pembuluh darah dan jaringan sekitarnya akan menimbulkan kematian jaringan otak, oedema jaringan otak akan mengakibatkan peningkatan tekanan intra kranial yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan pada batang otak.

B.     DAMPAK CEDERA KEPALA
1.      Faktor pernafasan
Hypertensi setelah cedera kepala terjadi karena pengaruh vasokonstriksi paru, hypertensi paru, dan oedema paru. Hal ini menyebabkan hypercapnea dan bronkokonstriksi.
Sensitifitas yang meningkat pada mekanisme pernafasan terhadap karbondioksida dan periode setelah hyperventilasi akan menyebabkan pernafasan chynestoke.

2.      Faktor kardiovaskuler
Cedera kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung yang mencakup aktivitas atycikal myocardinal, edema paru dan tekanan vaskuler. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel / perubahan gelombang T, gelombang P tinggi dan disritmia, vibrilasi atrium dan ventrikel tachycardia. Perubahan aktivitas myokardial mencakup peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya stroke work, CVP abnormal. Dengan tidak adanya endogenous stimulus saraf simpatis, maka akan mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan CO2 dan peningkatan tekanan atrium kiri sehingga terjadi oedema paru.

3.      Faktor gastrointestinal
Setelah cedera kepala, perlukaan dan perdarahan pada lambung jarang ditemukan, tetapi setelah 3 hari pasca cedera terdapat respon yang besar dan merangsang aktivitas hypthalamus dan stimulus vagus yang dapat menyebabkan langsung hiperacidium. Hypothalamus merangsang anterior hypofise untuk mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini merupakan kompensasi tubuh dalam mengeluarkan kortikosteroid dalam menangani oedema cerebral. Hyperacidium terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stres yang mempengaruhi produksi asam lambung.

4.      Faktor metabolisme.
Cedera kepala dapat mengakibatkan perubahan metabolisme seperti pada trauma tubuh lainnya, yaitu kecendrungan retensi sodium / natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen.
Retensi natrium disebabkan karena adanya rangsangan terhadap hypothalamus yang dapat menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron. Ginjal mengambil peran dalam proses hemodinamik ginjal untuk mengatasi retensi natrium. Kemudian natrium keluar bersama urine, hal ini mempengaruhi hubungan natrium pada serum dan adanya retensi natrium.
Pada pasca hypotermia hilangnya nitrogen yang berlebihan sama dengan respon metabolik terhadap cedera, karena adanya cedera tubuh maka diperlukan energi untuk menangani perubahan seluruh sistem.
Tetapi makanan yang masuk kurang sehingga terjadi penghancuran protein otot sebagai sumber nitrogen utama, demikian pula respon hypothalamus terhadap cedera, maka akan terjadi sekresi kortisol, hormon pertumbuhan dan produksi katekolamin dan prolaktin sehingga terjadi asidosis metabolik karena adanya metabolisme anaerob glukosa

C.    TERAPI PERAWATAN MEDIS
Meskipun SDH secara signifikan membutuhkan terapi pembedahan, maneuver medis sewaktu dapat digunakan preoperative untuk menurunkan tekanan intracranial yang meningkat. Pengukuran ini merupakan pintu untuk setiap lesi massa akut dan telah distandardisasi oleh komunitas bedah saraf.
1.      Sebagaimana dengan pasien trauma lain, resusitasi dimulai dengan ABCs (airway, breathing, circulation).
a.       Semua pasien dengan skor GCS kurang dari 8 harus dilakukan intubasi untuk perlindungan jalan nafas.
1.      Setelah menstabilkan fungsi jalan nafas, lakukan pemeriksaan neurologis. Respirasi yang adekuat sebaiknya dilakukan dan dijaga untuk menghindari hipoksia. Hiperventilasi dapat digunakan jika sindrom herniasi tampak.
2.      Tekanan darah pasien harus dijaga pada kadar normal atau tinggi dengan menggunakan salin isotonic, penekan, atau keduanya. Hipoksia dan hipotensi, dimana penting pada pasien dengan trauma kepala, merupakan predictor yang independen untuk hasil yang buruk.
2.      Sedatif kerja singkat dan paralitik digunakan hanya ketika diperlukan untuk memfasilitasi ventilasi adekuat atau ketika peningkatan tekanan intracranial dicurigai. Jika pasien menampakkan tanda sindrom herniasi, berikan manitol 1grkg dengan cepat melalui intravena
  1. Pasien juga sebaiknya dihiperventilasikan ringan (pCO2 ~30-35 mm Hg).
  2. Pemberian antikonvulsan untuk mencegah kejang yang disebabkan iskemia dan selanjutnya jaga tekanan intracranial.
  3. Jangan memberikan steroid, sebagaimana mereka telah ditemukan tidak efektif pada pasien dengan trauma kepala.

D.    PERAWATAN PEMBEDAHAN
1.      Tindakan bedah darurat.
Dari segi bedah saraf sangat penting adalah komplikasi intrakranial, lesi massa, khususnya hematoma intrakranial
a.       Hematoma subdural
Yang terpenting dalam hal gawat darurat adalah hematoma subdural akut (yang terjadi dalam waktu 72 jam sesudah trauma). Hematoma subdural, khususnya yang berkomplikasi, gejalanya tak dapat dipisahkan dari kerusakan jaringan otak yang menyertainya; yang berupa gangguan kesadaran yang berkelanjutan sejak trauma (tanpa lusid interval) yang sering bersamaan dengan gejala-gejala lesi massa, yaitu hemiparesis, deserebrasi satu sisi, atau pelebaran pupil.
Dalam hal hematoma subdural yang simple dapat terjadi lusid interval bahkan dapat tanpa gangguan kesadaran. Sering terdapat lesi multiple. Maka, tindakan CT Scan adalah ideal, karena juga menetapkan apakah lesi multiple atau single. Angiografi karotis cukup bila hanya hematoma subdural yang didapatkan.
Bila kedua hal tersebut tak mungkin dikerjakan, sedang gejala dan perjalanan penyakit mengarah pada timbulnya lesi massa intrakranial, maka dipilih tindakan pembedahan. Tindakan eksploratif burrhole dilanjutkan tindakan kraniotomi, pembukaan dura, evakuasi hematoma dengan irigasi memakai cairan garam fisiologis. Sering tampak jaringan otak edematous.
Disini dura dibiarkan terbuka, namun tetap diperlukan penutupan ruang likuor hingga kedap air. Ini dijalankan dengan bantuan periost. Perawatan pascabedah ditujukan pada faktor-faktor sistemik yang memungkinkan lesi otak sekunder.
1.      Fraktur impresi.
Fraktur impresi terbuka (compound depressed fracture). Indikasi operasi terutama adalah debridement, mencegah infeksi. Operasi secepatnya dikerjakan. Dianjurkan sebelum lewat 24 jam pertama. Pada impresi tertutup, indikasi operasi tidak mutlak kecuali bila terdapat kemungkinan lesi massa dibawah fraktur atau penekanan daerah motorik (hemiparesis dan lain-lain).
Indikasi yang lain (lebih lemah), ialah kosmetik dan kemungkinan robekan dura. Diagnosis dengan x foto kepala 2 proyeksi, kalau perlu dengan proyeksi tangensial. Impresi lebih dari tebal tulang kepala pada x foto tangensial, mempertinggi kemungkinan robekan dura. X foto juga diperlukan untuk menentukan letak fragmen-fragmen dan perluasan garis fraktur; dengan ini ditentukan pula apakah fraktur menyilang sinus venosus.
Impresi fraktur tertutup yang menyilang garis tengah merupakan kontra indikasi relatif untuk operasi, dalam arti sebaiknya tidak diangkat bila tidak terdapat gejalayang mengarah pada kemungkinan lesi massa atau penekanan otak.

Dalam hal fraktur impresi terbuka yang menyilang sinus venosus maka persyaratan untuk operasi bertambah dengan :
a.       bila luka sangat kotor.
b.      bila angulasi besar.
c.       bila terdapat persediaan darah cukup.
d.      bila terdapat ketrampilan (skill)dan peralatan yang cukup.
e.        
Indikasi dar dekompresi mendesak untuk subdural hematoma akut telah dilakukan sebelumnya, dan managemen operasi didiskusikan dengan ringkas.
1.      Standar kebalikan pertanyaan menandakan insisi untuk memberikan akses yang besar terhadap wilayah frontal, temporal dan parietal.
a.       Pasien diposisikan supine dengan kepala menghadap sisi yang perlu. Penahan bahu ditempatkan untuk mencegah vena jugularis. Alat Fiksasi kepala 3 titik digunakan pada pasien dengan fraktur medulla spinalis yang tidak stabil.
b.      Seluruh kepala dicukur duntuk memfasilitasi penempatan monitor tekanan intracranial pada sisi kontralateral, jika diinginkan.
2.      Pelubangan eksplorasi jarang diindikasikan tetapi terkadang digunakan sebagai pengukuran untuk keselamatan hidup. Pasien dengan trauma kepala dapat secara cepat ditriasekan dan dievakuasi dengan pusat trauma melalui CT Scan, membuat perlubangan eksplorasi manjadi ketinggalan. Bagaimanapun, perlubangan kepala dapat digunakan untuk dekompresi mendesak pada apsien yang menunjukkan herniasi cepat jika akses untuk studi radiografi tidak ada.
3.      SDH seringkali dikaitkan dengan pembengkakan otak akut. Secara ironis, dekompresi cepat subdural hematom melalui craniotomy pada pasien ini dapat menyebabkan kerusakan terhadap otak dengan menjadi herniasi melalui defek kraniotomi. Metode novel untuk dekompresi dianjurkan untuk mencegah otak dari kerusakan melalui defek kiraniotomi. Sumbatan dapat dipindahkan melalui pembukaan dura yang kecil.
E.     PROGNOSIS
Hal-hal yang dapat membantu menentukan prognosis : Usia dan lamanya koma pasca traumatik, makin muda usia, makin berkurang pengaruh lamanya koma terhadap restitusi mental. Tekanan darah pasca trauma. Hipertensi pasca trauma memperjelek prognosis. Pupil lebar dengan fefleks cahaya negatif, prognosis jelek. Reaksi motorik abnormal (dekortikasi/deserebrasi) biasanya tanda penyembuhan akan tidak sempurna.
Hipertermi, hiperventilasi, Cheyne-Stokes, deserebrasi: menjurus ke arah hidup vegetative Apnea, pupil tak ada reaksi cahaya, gerakan refleks mata negatif, tak ada gerakan apapun merupakan tanda-tanda brain death. Ini perlu dilengkapi dengan EEG yang isoelektrik.




DAFTAR PUSTAKA


0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com