Minggu, 15 April 2012

ASKEP FRAMBUSIA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Penyakit frambusia ini merupakan penyakit yang berkaitan dengan kemiskinan dan hampir bisa dikatakan hanya menyerang mereka yang berasal dari kaum termiskin serta masyarakat kesukuan yang terdapat di daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau.
Pada awalnya, koreng yang penuh dengan organisme penyebab ditularkan melalui kontak dari kulit ke kulit, atau melalui luka di kulit yang didapat melalui benturan, gigitan, maupun pengelupasan. Pada mayoritas pasien, penyakit frambusia terbatas hanya pada kulit saja, namun dapat juga mempengaruhi tulang bagian atas dan sendi. Walaupun hampir seluruh lesi frambusia hilang dengan sendirinya, infeksi bakteri sekunder dan bekas luka merupakan komplikasi yang umum. Setelah 5 -10 tahun, 10% dari pasien yang tidak menerima pengobatan akan mengalami lesi yang merusak yang mampu mempengaruhi tulang rawan, kulit, serta jaringan halus yang akan mengakibatkan disabilitas yang melumpuhkan serta stigma sosial.
Beban penyakit Selama periode 1990an, frambusia merupakan permasalahan kesehatan masyarakat yang terdapat hanya di tiga negara di Asia Tenggara, yaitu India, Indonesia dan Timor Leste. Berkat usaha yang gencar dalam pemberantasan frambusia, tidak terdapat lagi laporan mengenai penyakit ini sejak tahun 2004. Sebelumnya, penyakit ini dilaporkan terdapat di 49 distrik di 10 negara bagian dan pada umumnya didapati pada suku-suku didalam masyarakat. India kini telah mendeklarasikan pemberantasan penyakit frambusia dengan sasaran tidak adanya lagi laporan mengenai kasus baru dan membebaskan India bebas dari penyakit ini sebelum tahun 2008. yaitu Zeroincidence + No sero positive cases among < 5 children.
Di Indonesia, sebanyak 4.000 kasus tiap tahunnya dilaporkan 8 dari 30 provinsi 95% dari keseluruhan jumlah kasus yang dilaporkan tiap tahunnya dilaporkan dari empat provinsi, yaitu : Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Papua dan Maluku. Pelaksanaan program pemberantasan penyakit ini sempat tersendat pada tahun-tahun terakhir, terutama disebabkan oleh keterbatasan sumber daya. Upaya-upaya harus diarahkan pada dukungan kebijakan dan perhatian yang lebih besar sangat dibutuhkan demi pelaksanaan yang lebih efektif dan memperkuat program ini.
Di Timor Leste, Frambusia dianggap penyakit endemik di 6 dari 13 distrik. Data yang dapat dipercaya tidak terdapat di negara ini. Pendekatan yang terpadu sedang direncanakan, dengan mengkombinasikan pemberantasan penyakit kaki gajah dan frambusia, serta pengontrolan cacing tanah. Sinergi program semacam ini merupakan pendekatan utama yang harus didukung.
Frambusia dapat diberantas karena penyakit ini dapat dideteksi dengan mudah oleh petugas kesehatan di klinik- klinik serta dapat disembuhkan dengan satu kali penyuntikan penisilin aksi lama. Secara geografis, penyakit ini hanya terbatas pada sebuah daerah yang terpencil dan terlokalisir di tempat tersebut. Memperkenalkan pemberantasan frambusia dapat menjadi pintu masuk untuk pemberian penanganan kesehatan primer ke dalam populasi yang termarjinalkan secara social dan terisolasi secara geografis.
Secara histories, penggunaan strategi yang meliputi pendeteksian kasus secara aktif dan penanganan tepat waktu dari kedua kasus ini serta kontak dengan keluarga penderita terbukti dapat memberantas penyakit ini. Pada akhirnya, pemberantasan frambusia dapat menurunkan angka kemiskinan dan memberdayakan masyarakat tradisional sehingga Negara-negara mampu mencapai Millenium Development Goals (MDGs) atau paling tidak mampu menyediakan akses ke kondisi kesehatan dan sanitasi pada tingkat dasar. Berdasarkan argument-argument ini, WHO telah mendeklarasikan bahwa pemberantasan frambusia merupakan prioritas untuk daerah Asia Tenggara, dan hal ini dapat diwujudkan.
Untuk menjalankan misi pemberantasan penyakit ini, WHO telah mempersiapkan kerangka kerja Regional Strategic Plan dan sebuah draft dokumen pendukung untuk mobilitas sumber daya. Regional Strategic Plan 2006 -2010 telah diselesaikan dalam sebuah pertemuan yang diadakan di Bali, Indonesia pada bulan Juli 2006 dan kerangka kerja National Strategic Plan untuk Indonesia dan Timor  Leste telah dibuat.Dengan pendeklarasian pemberantasan frambusia di India, Indonesia dan Timor Leste diharapkan meningkatkan upaya-upaya untuk memberantas penyakit frambusia. Kedua negara ini akan membutuhkan dukungan sumber daya dan teknis untuk memberantas penyakit frambusia sebelum tahun 2010.
Strategi-strategi untuk mencapai pemberantasan penyakit ini meliputi pendeteksian kasus secara aktif di daerah- daerah yang terjangkiti penyakit ini ; pengobatan yang tepat, serta pemberian penisilin dosis tunggal ; pelatihan tenaga medis di daerah - daerah yang terjangkiti mengenai diagnosa, penanganan, pencegahan, dan pengontrolan penyakit ini ; advokasi dan kampanye IEC guna menciptakan kesadaran masyarakat dan dukungan administrative, program pemantauan regular, dan peningkatan kerja sama.
Guna mencapai tujuan pemberantasan ini, kedua negara ini membutuhkan komitmen politik dan dukungan kebijaksanaan, pengerahan sumber daya yang memadai, dan peningkatan dukungan teknis untuk memperkuat program ini, serta pelaksanaan strategi dan yang berkesinambungan dan dinamis.

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Apa Pengertian Frambusia ?
1.2.2        Apa Etiologi Frambusia ?
1.2.3        Bagaimana Patofisiologi Frambusia ?
1.2.4        Bagaimana Cara Penularan Frambusia ?
1.2.5        Apa saja Klasifikasi Frambusia ?
1.2.6        Bagaimana Manifestasi Klinis Frambusia ?
1.2.7        Bagaimana Cara Pencegahan Frambusia ?
1.2.8        Bagaimana Pengobatan Frambusia.
1.2.9        Bagaimana Asuhan Keperawatan Frambusia ?

1.3   Tujuan
1.3.1        Mengetahui Pengertian Frambusia.
1.3.2        Mengetahui Etiologi Frambusia.
1.3.3        Mengetahui Patofisiologi Frambusia.
1.3.4        Mengetahui Cara Penyebara Frambusia.
1.3.5        Mengetahui Klasifikasi Frambusia.
1.3.6        Mengetahui Manifestasi Klinis Frambusia.
1.3.7        Mengetahui Cara Pencegahan pada Frambusia.
1.3.8        Mengetahui Pengobatan pada Frambusia.
1.3.9        Mengetahui Asuhan Keperawatan Frambusia.

BAB II
KONSEP MEDIS

2.1  Pengertian Frambusia
Frambusia merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh Treponema pallidum ssp.pertenue yang memiliki 3 stadium dalam proses manifestasi ulkus seperti ulkus atau granuloma (mother yaw), lesi non-destruktif yang dini dan destruktif atau adanya infeksi lanjut pada kulit, tulang dan perios. Penyakit ini adalah penyakit kulit menular yang dapat berpindah dari orang sakit frambusia kepada orang sehat dengan luka terbuka atau cedera/ trauma.
Frambusia adalah penyakit menular, kumat-kumatan, bukan termasuk penyakit menular venerik, yang disebabkan oleh Treponema  palidum subs. pertinue dengan gejala utama pada kulit dan tulang.
Penyakit frambusia atau patek adalah suatu penyakit kronis, relaps (berulang). Dalam bahasa Inggris disebut Yaws, ada juga yang disebut Frambesia tropica dan dalam bahasa Jawa disebut Pathek. Di zaman dulu penyakit ini amat populer karena penderitanya sangat mudah ditemukan di kalangan penduduk. Di Jawa saking populernya telah masuk dalam khasanah bahasa Jawa dengan istilah “ora Patheken”.
Frambusia termasuk penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat karena penyakit ini terkait dengan, sanitasi lingkungan yang buruk, kurangnya kesadaran masyarakat akan kebersihan diri, kurangnya fasilitas air bersih, lingkungan yang padat penduduk dan kurangnya fasilitas kesehatan umum yang memadai, apalagi di beberapa daerah, pengetahuan masyarakat tentang penyakit ini masih kurang karena ada anggapan salah bahwa penyakit ini merupakan hal biasa dan alami karena sifatnya yang tidak menimbulkan rasa sakit pada penderita..

2.2  Etiologi Frambusia
Frambusia merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh Treponema pallidum sub spesies pertenue (merupakan saudara dari Treponema penyebab penyakit sifilis), penyebarannya tidak melalui hubungan seksual, tetapi dapat mudah tersebar melalui kontak langsung antara kulit penderita dengan kulit sehat. Penyakit ini tumbuh subur terutama didaerah beriklim tropis dengan karakteristik cuaca panas, dan banyak hujan, yang dikombinasikan dengan banyaknya jumlah penduduk miskin, sanitasi lingkungan yang buruk, kurangnya fasilitas air bersih, lingkungan yang padat penduduk dan kurangnya fasilitas kesehatan umum yang memadai.

2.3  Patofisiologi Frambusia
Frambusia di sebabkan oleh Treponemaa Pallidum, yang disebabkan karena kontak langsung dengan penderita ataupun kontak tidak langsung. Treponema palidum ini biasanya menyerang kulit dan tulang.
Pada awal terjadinya infeksi, agen akan berkembang biak didalam jaringan penjamu, setelah itu akan muncul lesi intinal berupa papiloma yang berbentuk seperti buah arbei, yang memiliki permukaan yang basah,  lembab, tidak bernanah dan tidak sakit, kadang disertai dengan peningkatan suhu tubuh, sakit kepala, nyeri tulang  dan persendian. Apabila tidak segera diobati agen akan menyerang dan merusak kulit, otot, serta persendian.
Terjadinya kelainan tulang dan sendi sering mengenai jari-jari dan tulang ektermitas yang menyebabkan atrofi kuku dan deformasi ganggosa yaitu suatu kelainan berbentuk nekrosis serta dapat menyebabkan kerusakan pada tulang hidung dan septum nasi dengan gambaran-gambaran hilangnya bentuk hidung. Kelainan pada kulit adanya ulkus-ulkus yang meninggalkan jaringan parut dapat membentuk keloid dan kontraktur.

Klasifikasi Frambusia terdiri dari 4 (empat) tahap meliputi:
a)      pertama (primary stage) berbentuk bekas untuk berkembangnya bakteri frambusia;
b)      secondary stage terjadi lesi infeksi bakteri treponema pada kulit;
c)      latent stage bakteri relaps atau gejala hampir tidak ada;
d)      tertiary stage luka dijaringan kulit sampai tulang kelihatan, (Smith, 2006 ; Greenwood, et al, 1994 ; Bahmer, et al 1990 ; Jawetz, et al., 2005).

2.4  Cara Penularan Frambusia
Penularan  penyakit  frambusia  dapat  terjadi  secara langsung maupun tidak langsung (Depkes,2005), yaitu :
a)      Penularan secara langsung (direct contact) .
Penularan penyakit frambusia banyak terjadi secara langsung dari penderita ke orang lain. Hal ini dapat terjadi jika jejas dengan gejala menular (mengandung Treponema pertenue) yang terdapat pada kulit seorang penderita bersentuhan dengan kulit orang lain yang ada lukanya. Penularan mungkin juga terjadi  dalam persentuhan antara jejas dengan gejala menular dengan selaput lendir.
b)       Penularan secara tidak langsung (indirect contact) .
Penularan secara tidak langsung mungkin dapat terjadi dengan perantaraan benda atau serangga, tetapi hal ini sangat jarang. Dalam persentuhan antara jejas dengan gejala menular dengan kulit (selaput lendir) yang luka, Treponema pertenue yang terdapat pada jejas itu masuk ke dalam kulit melalui luka tersebut. 

Terjadinya infeksi yang diakibatkan oleh masuknya Treponema partenue dapat mengalami 2 kemungkinan, antara lain :
1.       Infeksi effective.
Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit berkembang biak, menyebar di dalam tubuh dan menimbulkan gejala-gejala penyakit. Infeksi efektif dapat terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit cukup virulen dan cukup banyaknya dan orang yang mendapat infeksi tidak kebal terhadap penyakit frambusia.
2.       Infeksi ineffective.
Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit tidak dapat berkembang biak dan kemudian mati tanpa dapat menimbulkan gejala-gejala penyakit. Infeksi effective dapat terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit tidak cukup virulen dan tidak cukup banyaknya dan orang yang mendapat infeksi mempunyai kekebalan terhadap penyakit frambusia (Depkes, 2005).

2.5  Klasifikasi Frambusia
Frambusia dibagi menjadi beberapa bagian, antara lain berdasarkan karakteristik Agen :
a)      Infektivitas dibuktikan dengan kemampuan sang Agen untuk berkembang biak di dalam jaringan penjamu.
b)      Patogenesitas dibuktikan dengan perubahan fisik tubuh yaitu terbentuknya benjolan-benjolan kecil di kulit yang tidak sakit dengan permukaan basah tanpa nanah.
c)      Virulensi penyakit ini bisa bersifat kronik apabila tidak diobati, dan akan menyerang dan merusak kulit, otot serta persendian sehingga menjadi cacat seumur hidup. Pada 10% kasus frambusia, tanda-tanda stadium lanjut ditandai dengan lesi yang merusak susunan kulit yang juga mengenai otot dan persendian.
d)     Toksisitas yaitu dibuktikan dengan kemampuan Agen untuk merusak jaringan kulit dalam tubuh penjamu.
e)      Invasitas dibuktikan dengan dapat menularnya penyakit antara penjamu yang satu dengan yang lainnya.
f)       Antigenisitas yaitu sebelum menimbulkan gejala awal Agen mampu merusak antibody yang ada di dalam sang penjamu.

2.6  Manifestasi Klinis Frambusia
Gejala klinis terdiri atas 3 Stadium yaitu :
a)     Stadium I :
Stadium ini dikenal juga stadium menular. Masa inkubasi rata-rata 3 minggu atau dalam kisaran 3-90 hari. Lesi initial berupa papiloma pada port d’ entre yang berbentuk seperti buah arbei, permukaan basah, lembab , tidak bernanah, sembuh spontan tanpa meninggalkan bekas, kadang-kadang disertai peningkatan suhu tubuh, sakit kepala, nyeri tulang dan persendian kemudian, papula-papula menyebar yang sembuh setelah 1-3 bulan. Lesi intinial berlangsung beberapa minggu dan beberapa bulan kemudian sembuh. Lesi ini sering ditemukan disekitar rongga mulut, di dubur dan vagina, dan  mirip  kandilomatalata pada sipilis. Gejala ini pun sembuh tanpa meninggalkan parut, walaupun terkadang dengan pigmentasi. selain itu terdapat semacam papiloma pada tapak tangan atau kaki, dan biasanya lembab. Gejala pada kulit dapat berupa macula, macula papulosa, papula, mikropapula, nodula, tanpa menunjukan kerusakan struktur pada lapisan epidermis serta tidak bereksudasi. Bentuk lesi primer ini adalah bentuk yang menular.
b)     Stadium II atau masa peralihan :
Pada stadium ini, di tempat lesi ditemukan treponema palidum pertinue. Treponema positif ini terjadi setelah beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah stadium I. Pada stadium ini frambusia tidak menular dengan bermacam-macam bentuk gambaran klinis, berupa hyperkeratosis. Kelainan pada tulang dan sendi sering  mengenai jari-jari dan tulang ekstermitas, yang dapat mengakibatkan terjadi atrofi kuku dan deformasi ganggosa, yaitu suatu kelainan berbentuk nekrosis serta dapat menyebabkan kerusakan pada tulang hidung dan septum nasi  dengan gambaran-gambaran hilangnya bentuk hidung, gondou ( suatu bentuk ostitis hipertofi ), meskipun jarang dijumpai. Kelainan sendi, hidrartosis, serta junksta artikular nodular ( nodula subkutan, mudah bergerak, kenyal, multiple), biasanya ditemukan di pergelangan kaki dekat kaput fibulae, daerah akral atau plantar dan palmar.
c)     Stadium III :
Pada stadium ini , terjadi guma atau ulkus-ulkus indolen dengan tepi yang curam atau bergaung, bila sembuh, lesi ini meninggalkan jaringan parut, dapat membentuk keloid dan kontraktur. Bila terjadi infeksi pada tulang dapat mengakibatkan kecacatan dan kerusakan pada tulang. Kerusakan sering terjadi pada palatum, tulang hidung, tibia.

Manifestasi klinis frambusia juga dibagi dalam beberapa tahap, antara lain :
a)      Tahap Prepatogenesis
Pada tahap ini penederita belum menunjukan gejala penyakit. Namun, tidak menutup kemungkinan si penyakit telah ada dalam tubuh si penderita.
b)      Tahap Inkubasi
Tahap inkubasi Frambusia adalah dari 2 sampai 3 minggu
c)      Tahap Dini
Terbentuknya benjolan-benjolan kecil di kulit yang tidak sakit dengan permukaan basah tanpa nanah.
d)     Tahap Lanjut
Pada gejala lanjut dapat mengenai telapak tangan, telapak kaki, sendi dan tulang, sehingga mengalami kecacatan. Kelainan pada kulit ini biasanya kering, kecuali jika disertai infeksi (borok).
e)      Tahap Pasca Patogenesis
Pada tahap ini perjalanan akhir penyakit hanya mempunyai tiga kemungkinan, yaitu :
1.      Sembuh dengan cacat penyakit ini berakhir dengan kerusakan kulit dan tulang di daerah yang terkena dan dapat menimbulkan kecacatan 10-20 %  dari penderita.
2.      Karier tubuh penderita pulih kembali, namun bibit penyakit masih tetap ada dalam tubuh.
3.      Penyakit tetap berlangsung secara kronik yang jika tidak diobati akan menimbulkan cacat kepada si penderita.

2.7  Pencegahan Frambusia
Frambusia bila tidak segera ditangani akan menjadi penyakit kronik, yang bisa kambuh dan menimbulkan gejala pada kulit, tulang dan persendian. Pada 10% kasus pasien stadium tersier, terjadi lesi kulit yang destruktif dan memburuk menjadi lesi pada tulang dan persendian. Kemungkinan kambuh dapat terjadi lebih dari 5 tahun setelah terkena infeksi pertama. Strategi pemberantasan frambusia terdiri dari 4 hal pokok yaitu:
a)     Skrining terhadap anak sekolah dan masyarakat usia di bawah 15 tahun untuk menemukan  penderita.
b)     Memberikan pengobatan yang akurat kepada penderita di unit pelayanan kesehatan (UPK) dan  dilakukan pencarian kontak.
c)     Penyuluhan kepada masyarakat tentang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
d)     Perbaikan kebersihan perorangan melalui penyediaan sarana dan prasarana air bersih serta penyediaan sabun untuk mandi.

2.8  Pengobatan Frambusia
Benzatin penisilin diberikan dalam dosis 2, 4 juta unit untuk orang dewasa dan untuk 1,2 juta unit untuk anak-anak. Hingga saat ini, penisilin merupakan obat pilihian, tetapi bagi mereka yang peka dapat diberikan tetrasiklin atau eritromisin 2 gr/hari selama 5-10 hari.
Menurut Departemen Kesehatan RI, (2004) dan (2007) bahwa pilihan pengobatan utama adalah benzatin penisilin, dan pengobatan alternatif dapat dilakukan dengan pemberian tetrasiklin, doxicicline dan eritromisin.
Anjuran pengobatan secara epidemiologi untuk frambusia adalah sebagai berikut :
a)      Bila sero positif  >50%  atau prevalensi penderita di suatu desa/ dusun >5% maka seluruh penduduk diberikan pengobatan.
b)      Bila sero positif 10%-50% atau prevalensi penderita di suatu desa 2%-5% maka penderita, kontak, dan seluruh usia 15 tahun atau kurang diberikan pengobatan.
c)      Bila sero positif kurang 10% atau prevalensi penderita di suatu desa/ dusun < 2% maka penderita, kontak serumah dan kontak erat diberikan pengobatan.

Pada anak sekolah untuk setiap penemuan kasus dilakukan pengobatan  seluruh murid dalam kelas yang sama. Dosis dan cara pengobatan sbb:
Umur
Nama obat
Dosis
Pemberian Melalui
Lama Pemberian
< 10 thn
Benz.penisilin
600.000 IU
IM
Dosis Tunggal
≥ 10 tahun
Benz.penisilin
1.200.000 IU
IM
Dosis Tunggal
Alternatif




< 8 tahun
Eritromisin
30mg/kgBB bagi 4 dosis
Oral
15 hari
8-15 tahun
Tetra atau erit.
250mg,4×1 hri
Oral
15 hari
>8 tahun
Doxiciclin
2-5mg/kgBB bagi 4 dosis
Oral
15 hari
Dewasa

100mg 2×1 hari
Oral
15 hari

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1   Pengkajian
Pengkajian adalah dasar utama dari proses keperawatan, pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu penentuan status kesehatan dan pola pertahanan klien, mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan klien serta merumuskan diagnosa keperawatan.
Pengkajian pada pasien frambusia meliputi :
1.      Identitas klien :
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk ke rumah sakit, nomor register, diagnosa medis.
2.      Keluhan utama :
a.       Gatal-gatal.
b.      Demam.
c.       Sakit Kepala.
d.      Nyeri tulang dan sendi.
e.       Terdapat benjolan-benjolan pada kulit.
3.      Riwayat penyakit
Pasien sebelumnya pernah menderita penyakit frambusia, dan kambuh kembali.
4.      Pemeriksaan Fisik :
a)      Pola aktivitas dan istirahat :
1)      Kelemahan.
2)      Gelisah.
3)      Susah bergerak.
4)      Susah tidur.
5)      Pusing.
b)      Pola sirkulasi :
1)      Turgor kulit menurun.
2)      Kerusakan integritas kulit.
c)      Pola sensorik  :
1)      Sensitifitas kulit terhadap rangsang menurun.
2)      Pertahanan tubuh menurun.
d)     Pola Nutrisi dan cairan :
1)      Anoreksia.
2)      Berat badan menurun.
3)      Dehidrasi.
e)      Pola kepercayaan diri :
1)      Perubahan postur tubuh.
2)      Menyendiri (malu).
f)       Pola tempat tinggal pasien :
1)      Sanitasi lingkungan yang buruk.
2)      Kurangnya fasilitas air bersih.
3)      Lingkungan yang padat penduduk dan kurangnya fasilitas kesehatan umum yang memadai.

3.2  Diagnosa Keperawatan
a)      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya lesi.
b)      Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan kerusakan pada kulit, dan pertahanan tubuh menurun.
c)      Gangguan mobilisasi berhubungan dengan kecacatan.
d)     Gangguan citra tubuh  berhubungan dengan perubahan postur tubuh.
e)      Ansietas berhubungan dengan perubahan kesehatan.
f)       Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi terhadap perawatan kulit.


3.3  Intervensi dan Rasional
a.       Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya lesi.
Tujuan Untuk memelihara integritas kulit atau mencapai penyembuhan tepat waktu.
Intervensi :
1.      Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor, sirkulasi, dan sensasi. Amati perubahan lesi.
Rasional : Menentukan garis dasar dimana terjadi perubahan pada status.
2.      Pertahankan hygiene kulit, misalnya dengan membasuh dan mengeringkannya dengan hati-hati dan melakukan masase dengan menggunakan lotion atau krim.
Rasional : Masase meningkatkan sirkulasi kulit dan menambah kenyamanan.
3.      Gunting kuku secara teratur.
Rasional : Kuku yang panjang/kasar menimbulkan resiko kerusakan kulit.
4.      Kolaborasi pemberian obat topikal atau sistemik
Rasional
Digunakan pada perawatan lesi kulit.
5.      Kolaborasi pemberian salep antibiotik untuk melindungi lesi.
Rasional : Melindungi area dari kontaminasi bakteri dan meningkatkan penyembuhan.

b.      Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan kerusakan pada kulit, dan pertahanan tubuh menurun.
Tujuan : Mencapai penyembuhan tepat waktu, tanpa komplikasi.
Intervensi :
1.      Ukur tanda-tanda vital termasuk suhu.
Rasional : Memberikan informasi data dasar. Peningkatan suhu secara berulang-ulang dari demam yang terjadi untuk menunjukkan pada tubuh bereaksi pada proses infeksi yang baru.
2.      Tekankan pentingnya teknik mencuci tangan yang baik untuk semua individu yang kontak dengan pasien.
Rasional : Mencegah kontaminasi silang, menurunkan resiko infeksi.
3.      Gunakan sapu tangan, masker dan teknik aseptik selama perawatan dan berikan pakaian yang steril atau baru.
Rasional : Mencegah terpajan pada organisme infeksius.
4.      Observasi lesi secara periodik.
Rasional : Untuk mengetahui perubahan respon terhadap terapi
5.      Berikan lingkungan yang bersih dan berventilasi baik. Periksa pengunjung atau staf terhadap tanda infeksi dan pertahankan  kewaspadaan sesuai indikasi.
Rasional : Untuk mengurangi patogen pada sistem intergument dan mengurangi kemungkinan pasien mengalami infeksi nosokomial.
6.      Kolaborasi pemberian preparat antibiotik dengan dokter.
Rasional : Membunuh atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme penyebab infeksi.

c.       Gangguan mobilisasi berhubungan dengan kecacatan.
Tujuan : Mobilisasi fisik terpenuhi.
Intervensi :
1.      Kaji ketidakmampuan bergerak klien yang diakibatkan oleh prosedur pengobatan dan catat persepsi klien terhadap immobilisasi.
Rasional : Dengan mengetahui derajat ketidakmampuan bergerak klien dan persepsi klien terhadap immobilisasi, ini akan membuat pasien menemukan aktivitas mana saja yang perlu dilakukan.
2.      Tingkatkan ambulasi klien seperti mengajarkan menggunakan tongkat dan kursi roda.
Rasional : Dengan ambulasi tersebut klien dapat mengenal dan menggunakan alat-alat yang perlu digunakan oleh klien dan juga untuk memenuhi aktivitas klien.
3.      Ganti posisi klien setiap 3 – 4 jam secara periodik.
Rasional : Pergantian posisi setiap 3 – 4 jam dapat mencegah terjadinya kontraktur.
4.      Bantu klien mengganti posisi dari tidur ke duduk dan turun dari tempat tidur.
Rasional : Membantu klien untuk meningkatkan kemampuan dalam duduk dan turun dari tempat tidur.

d.      Gangguan citra tubuh  berhubungan dengan perubahan postur tubuh.
Tujuan : Pasien dapat mengembangkan peningkatan penerimaan diri.
Intervensi :
1.      Kaji adanya gangguan pada citra diri pasien (menghindari kontak mata, ucapan yang merendahkan diri sendiri, ekspresi perasaan muak pada kondisi kulit).
Rasional : Gangguan citra diri akan menyertai setiap penyakit atau keadaan nyata bagi pasien. Kesan seseorang terhadap dirinya sendiri akan berpengaruh pada dirinya sendiri.
2.      Berikan kesempatan untuk pasien mengungkapkan keluhan, dengarkan dengan cara yang terbuka dan tidak menghakimi untuk mengekspresikan berduka atau ansietas tentang perubahan citra tubuh
Rasional :
Pasien membutuhkan pengalaman didengarkan dan dipahami. Mendukung upaya pasien untuk memperbaiki citra diri.
3.      Bersikap realistis selama pengobatan, dan pada penyuluhan kesehatan.
Rasional : Meningkatkan kepercayaan dan mengadakan hubungan antara pasien dengan perawat.
4.      Jangan memberikan keyakinan yang salah.
Rasional : Meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realita.

5.      Dorong interaksi keluarga dengan rehabilitasi.
Rasional : Mempertahankan pola komunikasi dan memberikan dukungan terus-menerus pada pasien dan keluarga.

e.       Ansietas berhubungan dengan perubahan kesehatan.
Tujuan : Pasien dapat menunjukkan penurunan ansietas sehingga dapat menerima perubahan status kesehatannnya dengan cara sehat.
Intervensi :
1.      Berikan penjelasan yang sering dan informasi tentang prosedur perawatan.
Rasional : Pengetahuan diharapkan menurunkan ketakutan dan ansietas, dan memperjelas kesalahan konsep dan meningkatkan kerja sama.
2.      Libatkan pasien atau orang yang terdekat dalam proses pengambilan keputusan.
Rasional : Meningkatkan rasa kontrol dan kerja sama.
3.      Kaji status mental terhadap penyakit.
Rasional : Menurunkan perasaan tak berdaya atau putus asa.
4.      Berikan orientasi konstan dan konsisten.
Rasional : Pada awalnya pasien dapat menggunakan penyangkalan untuk menurunkan dan menyaring informasi secara keseluruhan.
5.      Dorong pasien untuk bicara tentang penyakitnya.
Rasional : Pasien perlu membicarakan apa yang terjadi terus-menerus untuk membantu beberapa rasa terhadap situasi apa yang menakutkan
6.      Jelaskan pada pasien apa yang terjadi. Berikan kesempatan untuk bertanya dan berikan jawaban terbuka atau jujur.
Rasional : Membantu pasien tetap berhubungan dengan lingkungan dan realitas.
7.      Identifikasi metode koping atau penangan situasi stress sebelumnya.
Rasional : Pernyataan kompensasi menujukkan realitas situasi yang dapat membantu pasien atau orang yang terdekat menerima realita dan mulai menerima apa yang terjadi.
8.      Dorong keluarga dan orang yang terdekat untuk mengunjungi pasien dan mendiskusikan apa yang terjadi. Mengingatkan pasien kejadian masa lalu dan akan datang.
Rasional : Perilaku masa lalu yang berhasil dapat digunakan untuk membantu situasi saat ini mempertahankan kontak dengan realitas keluarga, membuat rasa kedekatan dan kesinambungan hidup.
9.      Kolaborasi sedatif  ringan sesuai indikasi
Rasional : Obat ansietas diperlukan untuk periode singkat sampai pasien lebih stabil secara psikis.

f.       Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi terhadap perawatan kulit.
Tujuan : Pasien mendapatkan informasi yang adekuat tentang perawatan kulit.
Intervensi :
1.      Tentukan apakah pasien mengetahui tentang kondisi dirinya.
Rasional : Memberikan data dasar untuk mengembangkan rencana penyuluhan.
2.      Pantau agar pasien mendapatkan informasi yang benar, dan memperbaiki kesalahan persepsi informasi.
Rasional : Pasien harus memiliki perasaan bahwa ada sesuatu yang dapat di perbuat.
3.      Berikan informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan.
Rasional : Informasi tertulis dapat membantu mengingatkan pasien.
4.      Jelaskan penatalaksanaan minum obat : dosis, frekuensi, tindakan, dan perlunya terapi dalam jangka waktu lama.
Rasional : Meningkatkan partisipasi pasien, memahami aturan terapi dan mencegah putus obat.
5.      Dorong pasien agar mendapat status nutrisi yang sehat.
Rasional : Penampakan kulit mencerminkan kesehatan umum seseorang. Perubahan kulit dapat menandakan  status nutrisi yang abnormal. Nutrisi yang optimal meningkatkan regenerasi jaringan dan penyembuhan umum kesehatan.
6.      Tekankan perlunya atau pentingnya mengevaluasi perawatan atau rehabilitasi
Rasional :
Dukungan jangka panjang dengan evaluasi ulang continue dan perubahan terapi dibutuhkan untuk penyembuhan optimal.

BAB IV
PENUTUP

4.1   Kesimpulan
Frambusia merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh Treponema pallidum ssp.pertenue yang memiliki 3 stadium dalam proses manifestasi ulkus seperti ulkus atau granuloma (mother yaw), lesi non-destruktif yang dini dan destruktif atau adanya infeksi lanjut pada kulit, tulang dan perios. Penyakit ini adalah penyakit kulit menular yang dapat berpindah dari orang sakit frambusia kepada orang sehat dengan luka terbuka atau cedera/ trauma.
Pada awal terjadinya infeksi frambusia, agen akan berkembang biak didalam jaringan penjamu, setelah itu akan muncul lesi intinal berupa papiloma yang berbentuk seperti buah arbei, yang memiliki permukaan yang basah,  lembab, tidak bernanah dan tidak sakit, kadang disertai dengan peningkatan suhu tubuh, sakit kepala, nyeri tulang  dan persendian. Apabila tidak segera diobati agen akan menyerang dan merusak kulit, otot, serta persendian. Proses penyebaran frambusia ada 2, yaitu penularan secara langsung (direct contact), dan penularan secara tidak langsung (indirect contact).
Gejala klinis frambusia terdiri atas 3 stadium yaitu : Stadium I, Stadium II atau masa peralihan, dan Stadium III, selain itu juga dibagi lagi dalam beberapa tahapan, antara lain : tahap prepatogenesis, tahap inkubasi, tahap dini, tahap lanjut, dan tahap pasca patogenesis.
Strategi pemberantasan atau pencegahan frambusia terdiri dari 4 hal pokok yaitu: skrining terhadap anak sekolah dan masyarakat usia di bawah 15 tahun untuk menemukan  penderita, memberikan pengobatan yang akurat kepada penderita di unit pelayanan kesehatan (UPK) dan  dilakukan pencarian kontak, penyuluhan kepada masyarakat tentang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), perbaikan kebersihan perorangan melalui penyediaan sarana dan prasarana air bersih serta penyediaan sabun untuk mandi.
Menurut Departemen Kesehatan RI, (2004) dan (2007) bahwa pilihan pengobatan utama dalam pengobatan frambusia adalah benzatin penisilin, alternatif pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian tetrasiklin, doxicicline dan eritromisin.

4.2  Saran
Frambusia merupakan penyakit kulit yang dapat menular, banyak hal yang dapat membuat penyakit frambusia dapat terjadi, salah satunya yaitu kondisi tempat tinggal yang kotor dan tidak sehat. Oleh karena itu, di harapkan bagi semua masyarakat untuk selalu memperhatikan kondisi lingkungannya, dan menjaga kesehatan baik terhadap diri sendiri maupun lingkungan tempat tinggal.
      
DAFTAR PUSTAKA

(diakses pada tanggal 24 februari 2012)
(diakses pada tanggal 23 februari 2012)

                                                                                   













0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com