BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue. Penyakit
Demam Berdarah Dengue saat
ini terus meningkat apalagi pada saat musim penghujan saat ini. Musim penghujan
merupakan musim “gembira“ bagi para nyamuk Aedes aegypti yang mengambil
kesempatan memperbanyak “pasukannya” dengan memanfaatkan kelengahan manusia
terhadap makna dari 3M plus dan cara mencegah demam berdarah.
Mengingat
infeksi Dengue/DBD termasuk penyakit endemis di Indonesia, seharusnya tidak
boleh terjadi lagi misdiagnosis atau kegagalan pengobatan infeksi Dengue/ DBD
di Indonesia. Infeksi dengue sudah menjadi masalah global di Indonesia dan seluruh
dunia.
Di seluruh dunia diasumsikan
setiap tahun terdapat 50 – 100 juta DD dan 250.000 – 500.000 DBD. Angka kematian umum DBD di Indonesia sudah turun
2,5%, tetapi untuk SSD masih tinggi . Angka kematian SSD di PICU RSDK masih tinggi 51,2% (1998), 26% (2000),
dan 12% (2002). Angka kematian yang tinggi
disebabkan karena perjalanan klinis dan
patogenesis/patofisiologi DBD masih belum sepenuhnya diketahui.
Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa gangguan hemostasis dan vaskuler leakage merupakan faktor prediktor
syok pada DBD. PEI > 6% mempunyai
resiko syok 13,86 kali. Kinetik kadar faktor hemostasis dan kebocoran vaskuler perlu dipantau pada fase akut
DBD, untuk segera diberikan terapi, sehingga dapat menurunkan mortalitas.
Beberapa teori telah
dikemukakan untuk menerangkan patogenesis/patofisiologi DBD. Teori tersebut antara lain : Antibody Dependent Enhancement (ADE), virulensi
virus dan beban virus, endotoksin, apoptosis, mediator, endotel, dan hemostasis. Semua teori menekankan bahwa gangguan hemostasis
dan kebocoran vaskuler merupakan inti dari patogenesis DBD
Demam
Berdarah Dengue biasanya disertai dengan beberapa komplikasi lainnya, seperti :
DSS, Ensefalopati, Perdarahan berat, Hemolisis, Peneumonia, Efusi Pleura,
Asites, Gagal Ginjal, GagalHati, Pankreatitis Akut, dan Asidosis. Dan dalam
pembahasan kali ini yaitu mengenai asites.
Asites terjadi
karena adanya akumulasi cairan (biasanya cairan
serosa yang merupakan cairan berwarna kuning pucat dan jelas) dalam rongga
(peritoneal) perut. Rongga perut terletak di bawah rongga dada, dipisahkan oleh
diafragma. cairan asites dapat memiliki banyak sumber seperti penyakit hati,
kanker, gagal jantung kongestif, atau gagal ginjal.
Penyebab paling umum dari ascites adalah penyakit hati yang lanjut atau
sirosis. Sekitar 80% kasus ascites terjadi karena sirosis. Manifestasi
pada penderita (symptoms) asites antara lain : Kehilangan selera/nafsu makan (anorexia),
merasa mudah kenyang atau enek (Jw.) (early satiety), mual (nausea),
nafas pendek/sesak (shortness of breath), nyeri perut (abdominal pain),
pembengkakan kaki (leg swelling), peningkatan berat badan (weight
gain), sesak nafas saat berbaring (orthopnea), nyeri ulu hati atau
sensari terbakar/nyeri di dada, dan ukuran perut membesar (increased
abdominal girth).
1.2 Rumusan
Masalah
1.2.1
Apa
pengertian Demam Berdarah Dengue (DBD) ?
1.2.2
Apa
etiologi DBD ?
1.2.3
Apa
saja klasifikasi DBD ?
1.2.4
Bagaimana
patofisiologi DBD ?
1.2.5
Bagaimana
manifestasi klinis DBD ?
1.2.6
Apa
saja komplikasi pada DBD ?
1.2.7
Apa
pengertian Asites ?
1.2.8
Apa
etiologi Asites ?
1.2.9
Bagaimana
patofisiologi Asites ?
1.2.10 Apa
saja manifestasi klinis pada Asites ?
1.2.11 Apa
hubungannya Asites dengan DBD ?
1.2.12 Bagaimana
Asuhan Keperawatan Asites pada DBD ?
1.3 Tujuan
1.3.1
Mengetahui pengertian Demam Berdarah
Dengue (DBD).
1.3.2
Mengetahui etiologi
DBD.
1.3.3
Mengetahui
klasifikasi DBD.
1.3.4
Mengetahui
patofisiologi DBD.
1.3.5
Mengetahui
manifestasi klinis DBD.
1.3.6
Mengetahui apa saja
komplikasi pada DBD.
1.3.7
Mengetahui pengertian
Asites.
1.3.8
Mengetahui
etiologi Asites.
1.3.9
Mengetahui
patofisiologi Asites.
1.3.10 Mengetahui
manifestasi klinis Asites.
1.3.11 Mengetahui
hubungan DBD dengan Asites.
1.3.12 Mengetahui
Asuhan Keperawatan Asites pada DBD.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Definisi Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam berdarah Dengue
(DBD) adalah penyakit demam akut
yang disebabkan oleh virus dengue, yang
masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes,
misalnya Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Terdapat empat
jenis virus dengue berbeda, namun berelasi dekat, yang dapat menyebabkan demam
berdarah.
Virus dengue
merupakan virus dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Penyakit
demam berdarah ditemukan di daerah tropis dan subtropis di berbagai belahan
dunia, terutama di musim hujan yang lembap. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan setiap
tahunnya terdapat 50-100 juta kasus infeksi virus dengue di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
2.2 Etiologi Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus, yaitu virus
dengue. Ada empat macam virus dengue:
a) Dengue 1,
b) Dengue 2,
c) Dengue 3
d) Dengue 4.
Walaupun semuanya adalah virus dengue, mereka masing-masing
cukup berbeda satu sama lain sehingga kekebalan tubuh yang ditimbulkan oleh
infeksi satu jenis virus dengue tidak sepenuhnya melindungi orang tersebut dari
infeksi tipe yang lain. Malahan, ada kalanya kekebalan tidak sempurna ini
mengakibatkan infeksi dengue berikutnya (dari jenis yang berbeda) menjadi lebih
berbahaya.
2.3 Klasifikasi
Demam Berdarah Dengue (DBD)
WHO, 1986 mengklasifikasikan DHF menurut derajat penyakitnya
menjadi 4 golongan, yaitu :
a) Derajat I : Demam disertai gejala
klinis lain, tanpa perdarahan spontan. Panas 2-7 hari, Uji tourniquet positif,
trombositipenia, dan hemokonsentrasi.
b) Derajat II : Sama dengan derajat I,
ditambah dengan gejala-gejala perdarahan spontan seperti petekie, ekimosis,
hematemesis, melena, perdarahan gusi.
c) Derajat III : Ditandai oleh gejala
kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan cepat (>120x/mnt ) tekanan
nadi sempit (120 mmHg), tekanan darah menurun, (120/80 , 120/100 , 120/110,
90/70, 80/70, 80/0, 0/0).
d) Derajat IV : Nadi tidak teraba,
tekanan darah tidak teratur (denyut 140x/mnt) anggota gerak teraba dingin,
berkeringat dan kulit tampak biru.
2.4 Patofisiologi Demam Berdarah (DBD)
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi dan patogenesis
demam berdarah dengue hingga kini belum diketahui secara pasti, tetapi sebagian
besar menganut “the secondary heterologous infection hypothesis” yang
mengatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah infeksi dengue
pertama mendapat infeksi berulang dengan tipe virus dengue yang berlainan dalam
jangka waktu tertentu yang diperkirakan antara 6 bulan sampai 5 tahun.
Patogenesis terjadinya renjatan berdasarkan hipotese infeksi sekunder dicoba
dirumuskan oleh suvvate.
Akibat infeksi kedua oleh tipe virus dengue yang berlainan
pada seseorang penderita dengan kadar antibodi anti dengue yang rendah, respon
antibodi ananmestik yang akan terjadi dalam beberapa hari mengakibatkan
proliferasi dan transformasi limfosit immun dengan menghasilkan antibodi IgG
anti dengue titer tinggi.
Disamping itu replikasi virus dengue terjadi dengan akibat
terdapatnya virus dalam jumlah yang banyak. Hal ini semuanya akan mengakibatkan
terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang selanjutnya akan mengaktivasi
sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat antivasi C3 dan C5 menyebabkan
meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma melalui
endotel dinding pembuluh darah.
Pada penderita ranjatan berat, volume plasma dapat berkurang
sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24 - 48 jam. Renjatan yang tidak
ditanggulangi secara adekuat akan menimbulkan anoksia jaringan, asidosis
metabolik dan kematian.
Penyebab lain kematian pada DBD adalah perdarahan saluran
pencernaan hebat yang biasa timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak
dapat diatasi. Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan
pada sebagian besar penderita DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa
demam, dan mencapai nilai terendah pada masa renjatan.
Jumlah tromosit secara cepat meningkat pada masa konvalesen
dan nilai normal biasanya tercapai sampai hari ke 10 sejak permulaan penyakit.
Kelainan sistem koagulasi mempunyai juga peranan sebagai sebab perdarahan pada
penderita DBD. Berapa faktor koagulasi menurun termasuk faktor II, V, VII, IX,
X dan fibrinogen. Faktor XII juga dilaporkan menurun. Perubahan faktor
koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hepar yang fungsinya memang
terbukti terganggu, juga oleh aktifitas sistem koagulasi.
Pembekuan intravaskuler menyeluruh (PIM/DIC) secara potensial
dapat terjadi juga saling mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki renjatan
irrevesible disertai perdarahan hebat, terlihatnya organ-organ vital dan
berakhir dengan kematian.
2.5 Manifestasi
Klinis Demam Berdarah Dengue (DBD)
Gejala klinik timbul secara mendadak berupa :
a)
suhu
tinggi.
b)
Nyeri
pada otot dan tulang.
c)
Mual.
d)
Muntah.
e)
Batuk
ringan.
f)
Sakit
kepala dapat menyeluruh atau berpusat pada daerah supra orbital dan
retroorbital.
g)
Pembengkakan
disekitar mata, lakrimasi,
h)
Fotofobia,
i)
Otot-otot
sekitar mata terasa pegal.
j)
Eksantem
yang klasik ditemukan dalam 2 fase, mula-mula pada awal demam (6 – 12 jam
sebelum suhu naik pertama kali), terlihat jelas di muka dan dada yang
berlangsung selama beberapa jam dan biasanya tidak diperhatikan oleh pasien.
k)
Ruam,
mulai antara hari 3 – 6, mula – mula berbentuk makula besar yang kemudian
bersatu mencuat kembali, serta kemudian timbul bercak-bercak petekia. Pada
dasarnya hal ini terlihat pada lengan dan kaki, kemudian menjalar ke seluruh
tubuh. Pada saat suhu turun ke normal, ruam ini berkurang dan cepat menghilang,
bekas-bekasnya kadang terasa gatal. Nadi pasien mula-mula cepat dan menjadi
normal atau lebih lambat pada hari ke-4 dan ke-5.
l)
Bradikardi,
dapat menetap untuk beberapa hari dalam
masa penyembuhan. Gejala perdarahan mulai pada hari ke-3 atau ke-5 berupa
petekia, purpura, ekimosis, hematemesis, epistaksis. Juga kadang terjadi syok
yang biasanya dijumpai pada saat demam telah menurun antara hari ke-3 dan ke-7
dengan tanda : anak menjadi makin lemah, ujung jari, telinga, hidung teraba
dingin dan lembab, denyut nadi terasa cepat, kecil dan tekanan darah menurun
dengan tekanan sistolik 80 mmHg atau kurang.
2.6 Komplikasi Demam Berdarah (DBD)
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita
malaria, antara lain :
a) DSS
b) Ensefalopati
c) Perdarahan
berat
d) Hemolisis
e) Peneumonia
f) Efusi
Pleura
g) Asites
h) Gagal
Ginjal
i)
Gagal Hati
j)
Pankreatitis Akut
k) Asidosis.
2.7
Definisi Asites
Asites adalah akumulasi cairan (biasanya
cairan serosa yang merupakan cairan berwarna kuning pucat dan jelas) dalam
rongga (peritoneal) perut. Rongga perut terletak di bawah rongga dada,
dipisahkan oleh diafragma. Cairan asites
dapat memiliki banyak sumber seperti penyakit hati, kanker, gagal jantung
kongestif, atau gagal ginjal.
2.8 Etiologi
Asites
Penyebab paling umum dari asites adalah penyakit hati yang lanjut atau
sirosis. Sekitar 80% kasus ascites terjadi karena sirosis. Meskipun mekanisme
yang tepat pembangunan asites tidak sepenuhnya dipahami, teori yang paling menunjukkan
adalah akibat hipertensi portal (tekanan meningkat dalam aliran darah hati)
sebagai kontributor utama. Prinsip dasarnya adalah mirip dengan pembentukan
edema tempat lain dalam tubuh akibat ketidakseimbangan tekanan di dalam
sirkulasi (sistem tekanan tinggi) dan di luar, dalam hal ini, rongga perut
(spasi tekanan rendah). Peningkatan tekanan darah portal dan penurunan albumin
(protein yang dibawa dalam darah) dapat bertanggung jawab dalam membentuk
gradien tekanan dan mengakibatkan perut asites.
Faktor lain yang dapat menyebabkan asites adalah retensi garam dan air.
Volume sirkulasi darah dapat dianggap rendah oleh sensor di ginjal sebagai
pembentukan asites. Ini menandakan ginjal untuk menyerap kembali lebih banyak
garam dan air untuk mengkompensasi hilangnya volume.
Beberapa penyebab lain dari asites berhubungan dengan gradien tekanan yang
meningkat adalah gagal jantung kongestif dan gagal ginjal lanjut akibat retensi
umum cairan dalam tubuh.
Dalam kasus yang jarang terjadi, peningkatan tekanan dalam sistem portal
bisa disebabkan oleh obstruksi internal atau eksternal kapal portal,
mengakibatkan hipertensi portal tanpa sirosis. Contoh ini bisa adanya massa
(atau tumor) menekan pada pembuluh portal dari dalam rongga perut atau
pembentukan bekuan darah di pembuluh portal menghalangi aliran normal dan
meningkatkan tekanan dalam wadah (misalnya, sindrom Budd-Chiari).
Ada juga asites formasi sebagai akibat dari kanker, yang disebut asites
ganas. Jenis asites biasanya manifestasi kanker dari organ-organ dalam rongga
perut, seperti, kanker usus besar, kanker pankreas, kanker perut, kanker
payudara, limfoma, kanker paru-paru, atau kanker ovarium.
Asites pankreas dapat dilihat pada orang dengan pankreatitis kronis (lama
berdiri) atau peradangan pada pankreas. Penyebab paling umum dari pankreatitis
kronis adalah penyalahgunaan alkohol berkepanjangan. Pankreas asites juga bisa
disebabkan oleh pankreatitis akut serta trauma pankreas.
2.9 Klasifikasi
Asites
Secara
tradisional, asites dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :
a)
Transudatif.
b)
Eksudatif.
Klasifikasi ini didasarkan pada jumlah protein yang ditemukan dalam cairan. Sebuah sistem yang lebih berguna telah dikembangkan untuk
mengklasifikasikan asites, klasifikasi tersebut berdasarkan jumlah albumin dalam cairan asites, dan bukan dengan jumlah albumin serum (albumin diukur
dalam darah). Ini disebut Serum Albumin Ascites Gradient atau SAAG.
Klasifikasi berdasarkan
SAAG tersebut, antara lain :
1)
Ascites
berhubungan dengan hipertensi portal (sirosis hati, gagal jantung kongestif, Budd-Chiari, alkoholik, gagal
hati fulminan,
trombosis vena porta) umumnya SAAG nya lebih besar dari 1.1 g/dl.
2)
Ascites disebabkan
oleh alasan lain (tumor peritonium, asites bilier, TBC
peritonium,
Sindrom
nefrotik, obstruksi
usus, pankreatitis) lebih rendah dari 1,1 g/dl.
2.10
Patofisiologi Asites
Asites dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, diantaranya
:
a) Peningkatan tekanan
hidrostatik : Sirosis, oklusi vena hepatika (sindrom Budd-Chiari), obstruksi
vena cava inferior, perikarditis konstriktif, penyakit jantung kongestif.
b) Penurunan tekanan osmotik koloid :
Penyakit hati stadium lanjut dengan gangguan sintesis protein, sindrom
nefrotik, malnutrisi, protein lossing enteropathy.
c) Peningkatan permeabilitas kapiler
peritoneal : Peritonitis TB, peritonitis bakteri,
penyakit keganasan pada peritonium.
d) Kebocoran cairan di
cavum peritoneal: Bile ascites, pancreatik ascites (secondary to a leaking
pseudocyst), chylous ascites, urine ascites.
e) Micellanous : Myxedema, ovarian disease (Meigs' syndrome), chronic
hemodialysis
2.11
Manifestasi
Klinis Asites
Manifestasi pada penderita (symptoms)
asites antara lain:
a) Kehilangan selera/nafsu makan (anorexia).
b) Merasa mudah kenyang atau enek
(Jw.) (early satiety).
c) Mual (nausea).
d) Nafas pendek/sesak (shortness of
breath).
e) Nyeri perut (abdominal pain).
f) Nyeri ulu hati atau sensasi
terbakar/nyeri di dada pyrosis (heartburn).
g) Pembengkakan kaki (leg swelling).
h) Peningkatan berat badan (weight
gain).
i)
Sesak
nafas saat berbaring (orthopnea).
j)
Ukuran
perut membesar (increased abdominal girth).
2.12 Pengobatan Asites
Penanganan asites tergantung dari penyebabnya, yaitu
pemberian obat diuretik dan diet rendah garam sangat efektif pada asites karena
hipertensi portal. Pada asites karena inflamasi atau keganasan, hal ini tidak
memberi hasil. Restriksi cairan diperlukan bila kadar natrium turun hingga <
120 mmol perliter.
Pemberian kombinasi
obat spironolakton dan furosemid sangat efektif untuk mengatasi asites dalam
waktu singkat. Dosis awal untuk spironolakton adalah 1-3 mg/kg/24 jam dibagi 2 - 4 dosis dan
furosemid sebesar 1-2 mg/kgBB/dosis 4 kali/hari, dapat ditingkatkan sampai 6
mg/kgBB/dosis. Pada asites yang tidak memberi respon dengan pengobatan diatas
dapat dilakukan cara berikut :
a)
Parasentesis.
Pengambilan
cairan untuk mengurangi asites masif yang aman untuk anak adalah sebesar 50
cc/kg berat badan. Disarankan pemberian 10 g albumin intravena untuk tiap 1
liter cairan yang diaspirasi untuk mencegah penurunan volume plasma dan
gangguan keseimbangan elektrolit.
b)
Peritoneovenous
shunt LeVeen atau Denver.
c)
Ultrafiltrasi
ekstrakorporal dari cairan asites dengan reinfus.
Rawat inap
diperlukan untuk memantau peningkatan berat badan serta pemasukan dan
pengeluaran cairan. Pemantauan keseimbangan natrium dapat diperkirakan dengan
monitoring pemasukan (diet, kadar natrium dalam obat dan cairan infus) dan
produksi urin. Keseimbangan Na negatif adalah prediktor dari penurunan berat
badan. Keberhasilan manajemen pasien dengan asites tanpa edema perifer adalah
keseimbangan Na negatif dengan penurunan berat badan sebesar 0,5 kg per hari.
Restriksi asupan
natrium (garam) 500 mg/hari (22 mmol/hari) mudah diterapkan pada pasien-pasien
yang dirawat akan tetapi sulit dilakukan pada pasien rawat jalan. Untuk itu
pembatasan dapat ditolerir sampai batas 2000 mg/hari (88 mmol/hari). Retriksi
cairan tidak diperlukan kecuali pada kasus asites dengan serum sodium level
turun di bawah 120 mmol..
2.13 Hubungan
Demam Berdarah dengan Asites
Pada penderita demam berdarah,
biasanya terdapat beberapa komplikasi, salah satunya yaitu asites. Hal ini
karena pada demam berdarah terjadi kebocoran plasma yang mengakibatkan
terjadinya asites, sehingga cairan menumpuk di dalam abdomen. Kebocoran plasma diakibatkan karena adanya hemokonsentrasi atau peningkatan kadar
hematokrit sebesar 20% atau lebih, hal ini dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan hematokrit
secara serial. Pemeriksaan
kebocoran plasma dapat juga dilakukan dengan pemeriksaan radiologi.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1
Pengkajian
a) Identitas Pasien
1. Nama :
2. Umur :
b) Riwayat Masuk : Klien biasanya
dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, ikterus, demam tinggi, rasa kembung,
kesadaran sudah menurun, nyeri, Berbagai
etiologi yang mendasar dengan masing-masik tanda klinik mungkin menyertai klien.
Selain itu biasanya pasien merupakan penderita DBD.
c) Pemeriksaan fisik
1. Aktivitas/ istirahat
a) Kelemahan otot.
b) Penurunan kekuatan.
c) Mengantuk terus menerus tetapi susah
tidur.
d) Susah Bergerak.
e) Malaise umum.
2. Sistem Intergumen
a) Turgor kulit menurun.
b) Kulit pusat.
c) Ikterik.
3. Sistem Pulmonal
a) Nyeri didada.
b) Sesak napas.
c) Takipneu.
d) Hiperventilasi
e) Pernafasan diafragma dan perut
meningkat.
4. Sistem Cardiovaskuler
a) Takikardi.
b) Denyut jantung tidak teratur.
c) Distensi vena jugularis.
d) Pembuluh darah vasokontriksi.
e) Kualitas darah menurun.
5. Sistem Neurosensori
a) Gelisah.
b) Penurunan kesadaran.
c) Refleks menurun.
d) Letargi.
6. Sistem Musculoskeletal
a) Tonus otot menurun.
b) Nyeri otot.
7. Sistem digestif :
a) Mual.
b) Muntah.
c) Anoreksia.
d) Rasa Kembung.
e) Konstipasi.
a) Pemeriksaan Penunjang :
1. Laboratorium :
Serum-ascites albumin gradient (SAAG). Jika > 1,1 mg/dL sangat
mungkin sirosis hepatis. Jika < 1 mg/dL cari penyebab/kausa lain. Neutrofil
> 250/mm3 cairan asites menunjukkan
adanya infeksi atau keganasan.
adanya infeksi atau keganasan.
2. Foto thorax dan foto polos abdomen
(BOF) :
Elevasi diaphragma, pada 80% pasien dengan asites, tepi
lateral hepar terdorong ke sisi medial dinding abdomen (Hellmer sign). Terdapat
akumulasi cairan dalam rongga rectovesical dan menyebar pada fossa paravesikal,
menghasilkan densitas yang sama pada kedua sisi kandung kemih. Gambaran ini
disebut ”dog’s ear” atau “Mickey Mouse” appearance. Caecum dan colon ascenden
tampak terletak lebih ke medial dan properitoneal fat line terdorong lebih ke
lateral merupakan gambaran yang tampak pada lebih dari 90% pasien dengan
asites.
3. Ultrasonografi
a) Volume cairan asites kurang dari
5-10 mL dapat terdeteksi.
b) Dapat membedakan penyebab asites
oleh karena infeksi, inflamasi atau keganasan.
4. CT scan.
a) Asites minimal dapat diketahui
dengan jelas pada pemeriksaan CT scan. Cairan asites dalam jumlah sedikit akan
terkumpul di ruang perihepatik sebelah kanan. Ruang subhepatic bagian posterior
(kantung Morison), dan kantung Douglas.
7. Parasentesis abdomen
Analisis
cairan asites :
a) Perbedaan kadar albumin serum-asites
(SAAG).
b) Kadar amilase, meningkat pada asites
gangguan pankreas.
c) Kadar trigliserida meningkat pada
chylous asites.
d) Lekosit lebih dari 350/mikroliter
merupakan tanda infeksi. Dominasi polimorfonuklear, kemungkinan infeksi
bakteri. Dominasi mononuklear, kemungkinan infeksi tuberkulosis atau jamur.
e) Eritrosit lebih dari
50.000/mikroliter menimbulkan dugaan malignancy, tuberkulosis atau trauma.
f) Pengecatan garam dan pembiakan untuk
konfirmasi infeksi bakterial.
g) Apabila pH or = 1.1 g/dl) Rendah (
< 1.1 g/dl).
h) Obstruksi usus.
3.2
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul, antara lain :
a)
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan adanya
kelemahan otot dan nyeri abdomen.
b)
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan adanya mual, muntah dan anoreksia.
c)
Pola
nafas yang tidak efektif berdasarkan menurunnya ekspansi paru karena adanya
penumpukan cairan didalam perut (asites).
d)
Gangguan
integritas kulit berdasarkan adanya perubahan sirkulasi, akumulasi garam di
kulit, menurunnya turgor kulit, adanya edema dan asites.
e)
Kelebihan
volume cairan berdasarkan adanya perubahan mekanisme regular : menurunnya
protein plasma, dan nutrisi.
3.3
Intervensi dan
Rasional
a) Intoleransi
aktivitas berhubungan dengan adanya kelemahan otot dan nyeri abdomen.
Tujuan : Terjadi
peningkatan toleransi aktivitas
Intervensi :
1. Optimalkan ventilasi : posisi
semifowler/toleransi pasien.
Rasional
: Menghindari/mengurangi sesak
2. Atur interval waktu antar aktivitas
untuk meningkatkan istirahat dan latihan yang dapat ditolerir.
Rasional
: menghindari kelelahan pada pasien
3. Bantu aktivitas
perawatan mandiri ketika pasien berada dalam keadaan lelah.
Rasional : mengoptimalkan kebutuhan
mandiri pasien.
4. Berikan
stimulasi melalui percakapan dan aktifitas yang tidak menimbulkan stress.
Rasional : mengurangi tingkat stress
pada pasien
5. Pantau respon pasien
terhadap peningkatan aktivitas.
Rasional : mengkaji keaktifan sistem
motorik pasien
b) Gangguan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan adanya mual, muntah dan
anoreksia.
Tujuan : Pasien
mendapat nutrisi yang adekuat
Intervensi :
1. Dorong peningkatan asupan cairan.
Rasional
: mencukupi kebutuhan nutrisi pasien
2. Anjurkan klien untuk makan makanan
dalam porsi kecil dan sering.
Rasional
: agar makanan bisa ditoleransi dengan baik oleh tubuh
3. Timbang
berat badan pasien setiap hari.
Rasional : mengontrol berat badan pasien
4. Ajarkan kepada klien, tentang jenis
-jenis makanan yang banyak mengandung air.
Rasional
: mengurangi kelebihan cairan dalam abdomen
5. Pantau fungsi usus.
Rasional
: menghindari infeksi pada usus
6. Dorong klien untuk meningkatkan
mobilisasi dalam batas-batas toleransi latihan.
Rasional
: mencegah kekakuan pada otot
c) Pola nafas yang tidak efektif
berdasarkan menurunnya ekspansi paru karena adanya penumpukan cairan didalam
perut (asites).
Tujuan
: Pola nafas pasien menjadi efektif
Intervensi
:
1.
Pantau frekuensi; kedalaman, pola
pernapasan; oksimetri denyut nadi dan gas darah arterial.
Rasional :
2.
Dorong
pasien untuk napas dalam dan batuk.
Rasional
: membersihkan saluran jalan napas dari sekret
3.
Pelihara saluran napas pasien dengan
melakukan pengisapan dan dukungan ventilasi jika diperlukan.
d) Gangguan integritas kulit
berdasarkan adanya perubahan sirkulasi, akumulasi garam di kulit, menurunnya
turgor kulit.
Tujuan
: Pasien
mempertahankan integritas kulit
Intervensi
:
1.
Kaji kerusakan kulit atau iritasi.
2. Hindari kulit kering (dry skin), dan
pakai pelembab kulit.
3.
Gunakan kapas lembab atau sabun yang pH
normal (sabun bayi).
Rasional : menghindari iritasi pada
kulit.
4. Ukur intake dan output cairan dan
monitor keseimbangan cairan.
Rasional
: Masukan cairan tercukupi.
5.
Hindari pakaian dan pengalas tempat
tidur yang lembab.
Rasional : menghindari infeksi
jamur dan bakteri yang ada pada pakaian dan pengalas tempat tidur.
e) Kelebihan volume cairan berdasarkan
adanya perubahan mekanisme regular : menurunnya protein plasma, dan nutrisi.
Tujuan
: Volume cairan dalam perut terkontrol
dengan baik
Intervensi
:
1. Ukur intake dan output cairan serta monitor
keseimbangan cairan.
Rasional
: kebutuhan cairan tercukupi
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Asites adalah akumulasi cairan (biasanya cairan serosa yang merupakan cairan
berwarna kuning pucat dan jelas) dalam rongga (peritoneal) perut. Rongga perut
terletak di bawah rongga dada, dipisahkan oleh diafragma. cairan asites dapat
memiliki banyak sumber seperti penyakit hati, kanker, gagal jantung kongestif,
atau gagal ginjal.
Penyebab paling umum dari asites adalah penyakit hati yang lanjut atau
sirosis. Sekitar 80% kasus ascites terjadi karena sirosis. Meskipun mekanisme
yang tepat pembangunan asites tidak sepenuhnya dipahami, teori yang paling
menunjukkan adalah akibat hipertensi portal (tekanan meningkat dalam aliran
darah hati) sebagai kontributor utama. Prinsip dasarnya adalah mirip dengan
pembentukan edema tempat lain dalam tubuh akibat ketidakseimbangan tekanan di
dalam sirkulasi (sistem tekanan tinggi) dan di luar, dalam hal ini, rongga
perut (spasi tekanan rendah). Peningkatan tekanan darah portal dan penurunan
albumin (protein yang dibawa dalam darah) dapat bertanggung jawab dalam
membentuk gradien tekanan dan mengakibatkan perut ascites.
Manifestasi pada penderita (symptoms)
asites antara lain: kehilangan
selera/nafsu makan (anorexia), merasa mudah kenyang atau enek
(Jw.) (early satiety), mual (nausea), nafas pendek/sesak (shortness
of breath), nyeri perut (abdominal pain), nyeri ulu hati atau
sensasi terbakar/nyeri di dada,
pyrosis (heartburn), pembengkakan kaki (leg swelling), peningkatan berat badan (weight gain), sesak nafas saat berbaring (orthopnea), dan ukuran perut membesar (increased abdominal girth).
pyrosis (heartburn), pembengkakan kaki (leg swelling), peningkatan berat badan (weight gain), sesak nafas saat berbaring (orthopnea), dan ukuran perut membesar (increased abdominal girth).
4.2
Saran
Asites adalah akumulasi cairan (biasanya cairan serosa yang merupakan cairan
berwarna kuning pucat dan jelas) dalam rongga (peritoneal) perut. Hal ini
merupakan akibat dari kebocoran plasma pada penderita DBD. Oleh karena itu,
pencegahan sangat perlu dilakukan sehingga tidak terjangkit DBD. Penyakit DBD
sendiri sampai saat ini belum ada obat yang secara pasti dapat menyembuhkannya.
Pencegahannya antara lain dengan
melakukan program 3M, dan untuk penyakit asites ada beberapa saran yang dapat
dilakukan untuk penderita asites, yaitu : yaitu pemberian obat diuretik, diet rendah garam, dan
pemberian kombinasi obat spironolakton serta obat furosemid, hal ini sangat
efektif untuk mengatasi asites dalam waktu singkat.
DAFTAR PUSTAKA
Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi,
Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, dan Siti Setiati. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi
V. Jakarta Pusat : Interna Publishing.
(diakses pada tanggal 27 Maret 2012)
(diakses pada tanggal 27 Maret 2012)
(diakses pada tanggal 27 Maret 2012)
(diakses pada tanggal 28 Maret 2012)
(diakses pada tanggal 28 Maret 2012)
(diakses pada tanggal 29 Maret 2012)
0 komentar:
Posting Komentar